Oleh Farhanna Fa’izzat
Wacana yang berkembang di
dunia Islam dewasa ini telah memberi tanggapan (counter) terhadap pemikiran
Barat. Namun, sebelum abad ke-20, untuk menangkis pemikiran Barat, para pemikir
Islam lebih banyak berapologi. Ini adalah akibat tertutupnya pintu ijtihad
serta ceteknya kajian falsafah mengenai pemikiran Barat di kalangan
pemikir-pemikir Islam.
Muhammad Baqir Ash-Shadr
adalah diantara sedikit dari tokoh-tokoh Islam yang mampu berbicara dengan
fasihnya pemikiran-pemikiran Barat. Kesan apalogi yang selama ini melekat pada
pemikir Islam, ditepisnya dengan kejernihan dan kecerdasan pemikirannya. Selain
itu, tentu saja, Ash-Shadr begitu akrab dengan karya-karya pemikir Islam klasik
maupun modern.
Dalam waktu yang sama,
Ash-Shadr juga begitu paham pemikiran-pemikiran Barat yang berkembang. Dalam
karyanya yang terkenal, yaitu Falsatuna dan Iqtishaduna, ia
dengan fasihnya mengutarakan kritikan-kritikan terhadap pemikiran para pemikir
Barat seperti Karl Marx, Descartes, John Locke dan lain-lain.
Falsafatuna dan Iqtishaduna telah melambungkan Muhammad
Baqir Ash-Shadr sebagai pemikir kebangkitan Islam terkemuka. Sistem falsafah
dan ekonomi alternatif ini disempurnakan melalui masyarakat dan institusi.
Dalam Falsafatuna dan Iqtishaduna, Baqir Shadr mengemukakan
kritik yang serius terhadap aliran Marxisme dan Kapitalisme. Buku ini baik dari
segi sturuktur maupun metodologi, tak diragukan lagi merupakan sumbangsih
paling serius dan paling banyak dipuji dalam bidangnya.
Muhammad Baqir As-Sayyid
Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik, lahir
di Kazimain, Baghdad, Irak pada 25 Dzulqa’dah 1353 H/1 Maret 1935 M dari
keluarga beragama yang religius dan masyhur. Pada usia empat tahun, Muhammad
Baqir Ash-Shadr kehilangan ayahnya, dan kemudian diasuh oleh ibunya dan saudara
kandungnya, Ismail, yang juga seorang mujtahid terkenal di Irak.
Ash-Shadr menunjukkan
tanda-tanda kecerdasan dan kejeniusannya semenjak usia kanak-kanak. Pada usia
sepuluh tahun, Ash-Shadr berceramah tentang sejarah Islam, dan juga tentang
beberapa aspek lain mengenai budaya Islam. Ash-Shadr mampu menangkap isu-isu
teologikal yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika usia
sebelas tahun, Ash-Shadr mengambil pendidikan logika (manthiq), dan menulis
sebuah buku yang mengkritik para filsuf.
Pada usia tiga belas
tahun, datuknya mengajarkan kepadanya Ushul ‘Ilm al-Fiqh. Pada usia
sekitar enam belas tahun, Ash-Shadr pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan
yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Sekitar empat tahun
kemudian, Ash-Shadr menulis sebuah ensiklopedia tentang Ghayat Al-Fikr fi
al-Ushul (Pemikiran Puncak
dalam Ushul Fiqh). Dengan prestasi-prestasi ini, Ash-Shadr menjadi seorang
mujtahid pada usia tiga puluh tahun.
Sebagai salah seorang
pemikir yang paling terkemuka, Ash-Shadr melambangkan kebangkitan intelektual
yang berlangsung di Najaf antara 1950-1980. Ciri lain yang jelas dari
kebangkitan itu adalah dimensi politiknya, dan saling pengaruh antara apa yang
terjadi di lorong gelap dan sekolah tinggi berdebu Najaf, dan Timur Tengah pada
umumnya.
Ketika peristiwa hukuman
mati Ash-Shadr bersama saudara perempuannya yang bernama Bint Al-Huda pada 8
April 1980 oleh pemerintahan Saddam (yang disokong Amerika), tak ragu lagi
merupakan titik puncak tantangan terhadap Islam di Irak khususnya dan dunia
muslim umumnya. Dengan meninggalnya Ash-Shadr, Irak khususnya dan dunia Islam
sebenarnya telah kehilangan intelektual Islamnya yang paling cemerlang. Dan,
reputasinya semenjak itu diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya telah
melintasi Mediteranian, ke Eropa dan Amerika Serikat.
Pada 1981, Hanna Batatu,
dalam sebuah artikel di Middle East Journal di Washington, menunjukkan
kepada kita betapa pentingnya Ash-Shadr kepada gerakan intelektual dan
Islamiyyah di Irak khususnya dan dunia Islam umumnya. Pada 1984, Istishaduna
diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, disertai dengan mukaddimah panjang
mengenal biografi Ash-Shadr oleh seorang orientalis muda Jerman.
Bagi kita, tidak mungkin
untuk kita mengabaikan nilai signifikan dan asas (dasar-dasar Islam modern yang
sekaligus tidak meninggalkan fondasi klasiknya) yang dibentuk oleh Muhammad
Baqir Ash-Shadr ini dalam kebangkitan terhadap gerakan politik Islam, khususnya
di negara yang terletak antara dua sungai, Bainan Nahrain, Irak dewasa
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar