Kamis, 25 Februari 2016

Merenungi Pesan Muhammad Iqbal (Bagian Kedua)


oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (Filsuf Syi’ah)

Saya ingin menjelaskan ringkasan dari ucapan Iqbal. Beliau mengatakan bahwa ajaran Islam berpijak di atas keimanan. Ajaran Islam bersumber dari Wahyu Ilahi, sehingga mampu menembus sisi batin manusia. Bukti tentangnya telah eksis di masa lalu dan akan tetap terbukti pada masa sekarang –bahwa ajaran Islam memiliki kekuatan ajaran yang mampu menembus sisi batin manusia. Islam mengajarkan kebebasan, keadilan, mencintai sesama manusia, dan hak-hak asasi manusia. Ajaran-ajaran ini juga sekaligus memberikan jaminan dalam jiwa manusia bahwa ia bisa diterapkan dalam kehidupan ini. Akan tetapi, ajaran-ajaran yang disampaikan Dunia Barat tidaklah demikian. Semua ajaran tersebut tidak memiliki garansi untuk bisa diterapkan secara konkret. Pada masa kini, manusia membutuhkan tiga hal:

[1] MEMANDANG DUNIA DARI SISI METAFISIKAL
Hal pertama yang dibutuhkan manusia adalah memandang dunia dari sisi metafisikal, bukan dari sisi material. Aliran yang mengakibatkan pemikiran dan akidah tidak termanifestasi dalam bentuk keimanan dan kenyataan adalah idealisme. Aliran ini memandang keberadaan dunia hanya terbatas pada aspek materialnya belaka. Segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah materi. Dunia ini buta, tidak berperasaan, bodoh, dungu, dan tidak bertujuan. Dunia tidak memahami kebaikan dan kebatilan. Dunia tidak memahami kebenaran dan kekeliruan. Di jagat semesta, kebenaran dan kebatilan tak bisa diukur dan ditimbang. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang memiliki tujuan. Kita diciptakan secara sia-sia.

Iqbal mengatakan bahwa pemikiran semacam ini menyesatkan dan menghancurkan norma peradaban kemanusiaan. Jadi, hal pertama yang dibutuhkan manusia adalah memandang dunia dari sisi metafisikal (bahwa dunia diciptakan dengan tujuan). Dalam sebuah ayat disebutkan: “Apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia?”[2] Tak ada kesia-siaan dalam penciptaan alam semesta. Segala apa yang ada di jagat raya ini harus mempunyai pemilik yang disebut dengan Tuhan.

Dunia diciptakan di atas prinsip kebenaran. Dunia diciptakan di atas prinsip keadilan. Di alam semesta ini terdapat kebaikan dan keburukan. Keberadaan alam semesta ini diciptakan Tuhan yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. “Allah tidak pernah lupa dan tidak tidur,”[3] Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Berilmu. Namun, keberadaan dunia ini tidak cukup hanya dipandang dari sisi metafisikal semata. Untuk itu, kita perlu melengkapinya dengan beberapa faktor lain.

[2] KEBEBASAN SPIRITUAL INDIVIDU
Kebebasan spiritual individu bertentangan dengan ajaran Kristen. Kebebasan individual berarti meyakini bahwa seseorang memiliki kepribadian yang unik. Jika seseorang tidak memandang dunia dari sisi metafisikal serta tidak meyakini adanya kepribadian yang khas dari masing-masing individu, maka potensi-potensi yang terkandung dalam diri manusia tidak akan pernah nampak.

Terdapat beberapa kaidah yang memiliki pengaruh universal dan sanggup mengarahkan manusia pada kesempurnaan masyarakat yang berdasarkan pada prinsip spiritual. Yang dimaksud dengan kaidah tersebut adalah berbagai ketetapan dasar dari ajaran Islam.

Dalam pembahasan kali ini, saya tidak akan memaparkan ucapan-ucapan Iqbal lebih jauh lagi. Apakah seperti kebanyakan kita, kajian yang dilakukan Iqbal hanya berhenti sampai di sini? Maksudnya, apakah setelah melihat berbagai kekurangan peradaban Eropa dan kemudian melihat Islam sebagai bentuk alternatif yang hidup, ia kemudian mengatakan: “Pembahasan sudah selesai”? Tidak. Justru Iqbal menguraikan bagian ketiga tersebut secara lebih mendalam dalam risalahnya sendiri, risalah setiap muslim, dan risalah para cendikiawan mukmin.

Tujuh rangkuman yang ditulis Iqbal di bawah topik “Menghidupkan Pemikiran Agama dalam Islam”, ditujukan tak lain untuk menopang persoalan yang terdapat pada bagian yang ketiga tersebut. Dalam sejumlah slogan yang disampaikan Iqbal, sedikit banyaknya disampaikan tujuan dari bagian yang ketiga ini, sembari pula sedikit menyinggung tujuan dari bagian yang pertama.

MATINYA SEMANGAT ISLAM
Dalam slogan-slogan yang diserukan Muhammad Iqbal, terkandung berbagai kecaman keras terhadap sikap kaum muslimin yang mengikuti peradaban Barat secara membabi buta. Sementara dalam slogannya yang lain, Iqbal juga menyampaikan keharusan untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Bagian ketiga yang dibutuhkan kaum muslimin adalah: Sesungguhnya, Islam macam apakah yang dewasa ini ada di tengah-tengah kaum muslimin?

Iqbal memperlihatkan sebuah noktah yang terbilang penting bahwasannya Islam (yang sebenarnya) ternyata eksis, namun tidak berada di tengah-tengah kaum muslimin. Islam yang eksis di tengah-tengah kaum muslimin hanyalah Islam yang ditampilkan dalam bentuk slogan-slogan, gema suara azan, dan perginya kaum muslimin ke masjid-masjid di waktu sholat. Hanya simbol keislaman belaka yang tampil ke permukaan. Untuk menunjukkan citra keislaman, mereka biasanya menggunakan nama-nama Islami seperti: Muhammad, Hasan, Husain, Abdurrahim, Abdurrahman, dan sejenisnya. Namun, pada hakikamya, intisari Islam yang sebenarnya tidak terdapat dalam masyarakat. Intisari Islam dalam masyarakat yang Islami sesungguhnya telah mati.

Kita membutuhkan kehidupan Islam yang baru. Kehidupan Islam harus diperbaharui. Dan itu mungkin saja terjadi, mengingat pada hakikatnya Islam tidak pernah mati, melainkan kaum muslimin-lah yang mati. Islam tidak akan pernah mati, mengapa? Karena di sana terdapat Kitab langit (Al-Qur’an) dan sunah Nabi. Keduanya tampil dalam bentuk yang hidup. Dunia tak akan mampu memberikan sesuatu yang lebih baik dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi.

Ajaran al-Qur’an tidak seperti teori Ptolomeus yang bisa dipatahkan teori lain. Islam itu sendiri hidup dan berpijak di atas dan pada landasan yang hidup pula. Lantas, di manakah letak kekurangannya? Kekurangannya terletak pada pemikiran kaum muslimin sendiri. Pemikiran dan cara penerimaan kaum muslimin terhadap ajaran Islam bukan dalam bentuk yang hidup, melainkan dalam bentuk yang mati. Misalnya, dalam menanam benih unggul, Anda tidak menggunakan cara-cara pertanian yang benar. Akibatnya, benih yang ditanam dalam tanah tidak akan membuahkan hasil apapun. Akar-akar benih tersebut tidak akan tertanam dengan kuat. Benih tersebut akan tumbuh menjadi pohon kecil yang mudah dicabut dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Pohon tersebut sekarang tumbuh dan hidup. Akan tetapi, apabila Anda mencabut dan menanamnya kembali dalam posisi terbalik (akar di atas dan daunnya ditanam), pohon tersebut tentu akan mati.

Imam Ali menyampaikan kata-kata yang sangat indah sehubungan dengan masa depan Islam dan kaum muslimin. Beliau mengatakan: “Islam dikenakan baju secara terbalik.”[4] Maksudnya adalah masyarakat Islam memang mengenakan baju keislaman. Namun baju yang dikenakan tersebut ternyata terbalik. Pakaian musim dingin dikenakan untuk menangkal hawa dingin. Terkadang ada juga orang yang menanggalkannya dan menghadapi musim dingin dengan tubuh tanpa pakaian. Ada juga orang yang mengenakan baju tapi tidak dengan cara yang semestinya; maksudnya mengenakan pakaian secara terbalik. Sisi pakaian yang semestinya diarahkan ke luar malah diarahkan ke dalam, sebaliknya sisi yang seharusnya diarahkan ke dalam justru diarahkan ke luar. Orang yang mengenakan pakaian secara terbalik akan nampak lucu dan bakal menjadi bahan tertawaan orang lain.

Imam Ali mengatakan bahwa masyarakat mengenakan “baju” keislaman dengan cara yang terbalik. Di satu sisi, mereka memiliki baju keislaman, sementara pada sisi yang lain tidak memilikinya. Kendati memilikinya, mereka mengenakannya secara terbalik; yang semestinya di luar malah di dalam, dan yang semestinya di dalam malah di luar. Kesimpulannya, Islam yang eksis di tengah-tengah kaum muslimin adalah Islam yang tidak memiliki keutamaan dan pengaruh. Keislaman semacam itu tidak akan mampu menginspirasikan semangat, gerakan, kekuatan, dan pemahaman. Islam semacam itu lebih menyerupai pohon yang dipenuhi dengan benalu.

Lantas dari mana kemunculan seluruh hal tersebut? Ini erat kaitannya dengan cara kaum muslimin menerima Islam. Yakni, bagaimana proses kepengikutan mereka terhadap agama Islam dan bagaimana pula cara mereka menganutnya. Apakah mereka mengambilnya dari kepala, dari kaki, dari tubuh, ataukah secara acak? Mereka mengambil sebagian ajaran Islam dan meninggalkan sebagian lainnya. Mereka hanya mengambil kulitnya, sementara intisarinya tidak. Atau sebaliknya, mengambil intisarinya dan meninggalkan kulitnya. Pada akhirnya, Islam yang mereka anut tampil dalam bentuk “Tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup”.[5]

Islam yang dipeluk tidak hidup juga tidak mati. Tidak bisa dibilang eksis juga tidak dapat dikatakan tidak eksis. Ini merupakan noktah paling mendasar yang harus dipikirkan bersama. Jika tidak dipikirkan secara mendalam, bagaimana mungkin kita bisa melakukan kritik terhadap peradaban dan budaya Eropa, sementara budaya dan saripati Islam yang kita miliki belum otentik. Jika masyarakat dunia mengikuti kita, mereka tentu tidak akan pernah maju. Apabila masyarakat dunia menjejaki langkah kita, mereka pasti akan senasib dengan kita yang kini berada dalam kondisi yang nyaris binasa.

Dalam Al-Qur’an disebutkan tentang bentuk kehidupan yang Islami, kehidupan pemikiran yang Islami. Sebagaimana dengan jelas diungkapkan dalam ayamya yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu”.[6] Apakah ciri-ciri kehidupan tersebut? Apa yang dimaksud dengan “hidup”? Al-Qur’an menyebutkan bahwa masyarakat Jahiliyah adalah masyarakat yang mati. Dalam sebuah ayat disebutkan: “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar.”[7] Dalam Ayat lain juga dikatakan: “Dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.”[8] 

Masyarakat Jahiliyah merupakan masyarakat yang terdiri dari orang-orang mati yang bergerak. Mereka adalah orang-orang mati yang berjalan di muka bumi. Orang-orang seperti mereka tjdak bisa disebut sebagai orang-orang yang hidup. Adapun berkenaan dengan orang-orang yang beriman, Al-Qur’an menyerukan ajakan untuk menerima ajaran yang mampu menganugerahkan kehidupan. Ajaran Islam memberikan jiwa, kekuatan, serta kehidupan kepada manusia. Apa ciri-ciri kehidupan? Saya persilahkan Anda bertanya kepada orang pandai, atau para filsuf yang bisa mendefinisikan kehidupan, tentang ‘bagaimana sesuatu bisa dianggap hidup’. Apa arti hidup? Tak seorangpun yang akan mengaku dirinya mampu mendefinisikan hidup. Hidup bisa diketahui melalui tanda-tanda dan dampak-dampaknya. Hidup adalah hakikat yang tidak diketahui, yang memiliki dua karakter: Pengetahuan dan gerakan.

Dikarenakan memiliki pengetahuan yang lebih, manusia akan memiliki hidup yang lebih pula. Segala sesuatu yang memiliki gerakan lebih banyak, akan memiliki hidup yang lebih banyak pula. Segala sesuatu yang berpengetahuan minim akan menjadi sangat bodoh dan sangat mati. Setiap kejumudan mencirikan kematian, dan setiap kejumudan yang sangat akan menjadi kematian yang sangat pula. Segala sesuatu yang benar-benar kosong dari pengetahuan akan mengalami kematian dalam kematian. Begitu pula halnya dengan segala sesuatu yang benar-benar jumud. 


Sekarang coba Anda simak, apakah kaum muslimin yang ada sekarang ini merupakan masyarakat yang progressif ataukah stagnan? Kita lebih banyak diam ataukah bergerak? Maksudnya, apakah masyarakat kita lebih menghormati orang yang progressif ataukah orang yang jumud dan stagnan? Anda bisa saksikan bahwa masyarakat kita lebih menghormati orang yang stagnan ketimbang orang yang dinamis dan kritis. Ini merupakan ciri kematian suatu masyarakat, di mana setiap orang yang kosong dari pengetahuan lebih dihormati dan dikagumi. (Orang yang lebih banyak diam dan stagnan menandakan dirinya tidak memiliki banyak pengetahuan, sedangkan orang yang dinamis menunjukkan dirinya lebih banyak memiliki pengetahuan). (Bersambung ke Bagian Ketiga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar