oleh Syahid
Ayatullah Murtadha Muthahhari (Filsuf Syi’ah)
Saya ingin menjelaskan ringkasan dari ucapan
Iqbal. Beliau mengatakan bahwa ajaran Islam berpijak di atas keimanan. Ajaran
Islam bersumber dari Wahyu Ilahi, sehingga mampu menembus sisi batin manusia.
Bukti tentangnya telah eksis di masa lalu dan akan tetap terbukti pada masa
sekarang –bahwa ajaran Islam memiliki kekuatan ajaran yang mampu menembus sisi
batin manusia. Islam mengajarkan kebebasan, keadilan, mencintai sesama
manusia, dan hak-hak asasi manusia. Ajaran-ajaran ini juga sekaligus memberikan
jaminan dalam jiwa manusia bahwa ia bisa diterapkan dalam kehidupan ini. Akan
tetapi, ajaran-ajaran yang disampaikan Dunia Barat tidaklah demikian. Semua
ajaran tersebut tidak memiliki garansi untuk bisa diterapkan secara konkret.
Pada masa kini, manusia membutuhkan tiga hal:
[1] MEMANDANG DUNIA DARI SISI METAFISIKAL
Hal pertama yang dibutuhkan manusia adalah
memandang dunia dari sisi metafisikal, bukan dari sisi material. Aliran yang
mengakibatkan pemikiran dan akidah tidak termanifestasi dalam bentuk keimanan
dan kenyataan adalah idealisme. Aliran ini memandang keberadaan dunia hanya
terbatas pada aspek materialnya belaka. Segala sesuatu yang ada di dunia ini
hanyalah materi. Dunia ini buta, tidak berperasaan, bodoh, dungu, dan tidak
bertujuan. Dunia tidak memahami kebaikan dan kebatilan. Dunia tidak memahami
kebenaran dan kekeliruan. Di jagat semesta, kebenaran dan kebatilan tak bisa
diukur dan ditimbang. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang memiliki tujuan.
Kita diciptakan secara sia-sia.
Iqbal mengatakan bahwa pemikiran semacam ini
menyesatkan dan menghancurkan norma peradaban kemanusiaan. Jadi, hal pertama
yang dibutuhkan manusia adalah memandang dunia dari sisi metafisikal (bahwa
dunia diciptakan dengan tujuan). Dalam sebuah ayat disebutkan: “Apakah
kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia?”[2] Tak ada
kesia-siaan dalam penciptaan alam semesta. Segala apa yang ada di jagat raya
ini harus mempunyai pemilik yang disebut dengan Tuhan.
Dunia diciptakan di atas prinsip kebenaran.
Dunia diciptakan di atas prinsip keadilan. Di alam semesta ini terdapat
kebaikan dan keburukan. Keberadaan alam semesta ini diciptakan Tuhan yang Maha
Mendengar dan Maha Melihat. “Allah tidak pernah lupa dan tidak tidur,”[3] Tuhan
Maha Mengetahui dan Maha Berilmu. Namun, keberadaan dunia ini tidak cukup hanya
dipandang dari sisi metafisikal semata. Untuk itu, kita perlu melengkapinya
dengan beberapa faktor lain.
[2] KEBEBASAN SPIRITUAL INDIVIDU
Kebebasan spiritual individu bertentangan
dengan ajaran Kristen. Kebebasan individual berarti meyakini bahwa seseorang
memiliki kepribadian yang unik. Jika seseorang tidak memandang dunia dari sisi
metafisikal serta tidak meyakini adanya kepribadian yang khas dari
masing-masing individu, maka potensi-potensi yang terkandung dalam diri manusia
tidak akan pernah nampak.
Terdapat beberapa kaidah yang memiliki
pengaruh universal dan sanggup mengarahkan manusia pada kesempurnaan masyarakat
yang berdasarkan pada prinsip spiritual. Yang dimaksud dengan kaidah tersebut
adalah berbagai ketetapan dasar dari ajaran Islam.
Dalam pembahasan kali ini, saya tidak akan
memaparkan ucapan-ucapan Iqbal lebih jauh lagi. Apakah seperti kebanyakan kita,
kajian yang dilakukan Iqbal hanya berhenti sampai di sini? Maksudnya, apakah
setelah melihat berbagai kekurangan peradaban Eropa dan kemudian melihat Islam
sebagai bentuk alternatif yang hidup, ia kemudian mengatakan: “Pembahasan sudah
selesai”? Tidak. Justru Iqbal menguraikan bagian ketiga tersebut secara lebih
mendalam dalam risalahnya sendiri, risalah setiap muslim, dan risalah para
cendikiawan mukmin.
Tujuh rangkuman yang ditulis Iqbal di bawah
topik “Menghidupkan Pemikiran Agama dalam Islam”, ditujukan tak lain untuk
menopang persoalan yang terdapat pada bagian yang ketiga tersebut. Dalam
sejumlah slogan yang disampaikan Iqbal, sedikit banyaknya disampaikan tujuan
dari bagian yang ketiga ini, sembari pula sedikit menyinggung tujuan dari
bagian yang pertama.
MATINYA SEMANGAT ISLAM
Dalam slogan-slogan yang diserukan Muhammad
Iqbal, terkandung berbagai kecaman keras terhadap sikap kaum muslimin yang
mengikuti peradaban Barat secara membabi buta. Sementara dalam slogannya yang
lain, Iqbal juga menyampaikan keharusan untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam.
Bagian ketiga yang dibutuhkan kaum muslimin adalah: Sesungguhnya, Islam
macam apakah yang dewasa ini ada di tengah-tengah kaum muslimin?
Iqbal memperlihatkan sebuah noktah yang
terbilang penting bahwasannya Islam (yang sebenarnya) ternyata eksis,
namun tidak berada di tengah-tengah kaum muslimin. Islam yang eksis di
tengah-tengah kaum muslimin hanyalah Islam yang ditampilkan dalam bentuk
slogan-slogan, gema suara azan, dan perginya kaum muslimin ke masjid-masjid di
waktu sholat. Hanya simbol keislaman belaka yang tampil ke permukaan. Untuk
menunjukkan citra keislaman, mereka biasanya menggunakan nama-nama Islami
seperti: Muhammad, Hasan, Husain, Abdurrahim, Abdurrahman, dan sejenisnya.
Namun, pada hakikamya, intisari Islam yang sebenarnya tidak terdapat dalam
masyarakat. Intisari Islam dalam masyarakat yang Islami sesungguhnya telah
mati.
Kita membutuhkan kehidupan Islam yang baru.
Kehidupan Islam harus diperbaharui. Dan itu mungkin saja
terjadi, mengingat pada hakikatnya Islam tidak pernah mati, melainkan kaum
muslimin-lah yang mati. Islam tidak akan pernah mati, mengapa? Karena di sana
terdapat Kitab langit (Al-Qur’an) dan sunah Nabi. Keduanya tampil dalam bentuk
yang hidup. Dunia tak akan mampu memberikan sesuatu yang lebih baik dari Al-Qur’an
dan sunnah Nabi.
Ajaran al-Qur’an tidak seperti teori Ptolomeus
yang bisa dipatahkan teori lain. Islam itu sendiri hidup dan berpijak di atas
dan pada landasan yang hidup pula. Lantas, di manakah letak kekurangannya?
Kekurangannya terletak pada pemikiran kaum muslimin sendiri. Pemikiran dan cara
penerimaan kaum muslimin terhadap ajaran Islam bukan dalam bentuk yang hidup,
melainkan dalam bentuk yang mati. Misalnya, dalam menanam benih unggul, Anda
tidak menggunakan cara-cara pertanian yang benar. Akibatnya, benih yang ditanam
dalam tanah tidak akan membuahkan hasil apapun. Akar-akar benih tersebut tidak
akan tertanam dengan kuat. Benih tersebut akan tumbuh menjadi pohon kecil yang
mudah dicabut dan dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Pohon
tersebut sekarang tumbuh dan hidup. Akan tetapi, apabila Anda mencabut dan
menanamnya kembali dalam posisi terbalik (akar di atas dan daunnya ditanam),
pohon tersebut tentu akan mati.
Imam Ali menyampaikan kata-kata yang sangat
indah sehubungan dengan masa depan Islam dan kaum muslimin. Beliau
mengatakan: “Islam dikenakan baju
secara terbalik.”[4] Maksudnya
adalah masyarakat Islam memang mengenakan baju keislaman. Namun baju yang
dikenakan tersebut ternyata terbalik. Pakaian musim dingin dikenakan untuk menangkal
hawa dingin. Terkadang ada juga orang yang menanggalkannya dan menghadapi musim
dingin dengan tubuh tanpa pakaian. Ada juga orang yang mengenakan baju tapi
tidak dengan cara yang semestinya; maksudnya mengenakan pakaian secara
terbalik. Sisi pakaian yang semestinya diarahkan ke luar malah diarahkan ke
dalam, sebaliknya sisi yang seharusnya diarahkan ke dalam justru diarahkan ke
luar. Orang yang mengenakan pakaian secara terbalik akan nampak lucu dan bakal
menjadi bahan tertawaan orang lain.
Imam Ali mengatakan bahwa masyarakat
mengenakan “baju” keislaman dengan cara yang terbalik. Di satu sisi, mereka
memiliki baju keislaman, sementara pada sisi yang lain tidak memilikinya.
Kendati memilikinya, mereka mengenakannya secara terbalik; yang semestinya di
luar malah di dalam, dan yang semestinya di dalam malah di luar. Kesimpulannya,
Islam yang eksis di tengah-tengah kaum muslimin adalah Islam yang tidak
memiliki keutamaan dan pengaruh. Keislaman semacam itu tidak akan mampu
menginspirasikan semangat, gerakan, kekuatan, dan pemahaman. Islam semacam itu
lebih menyerupai pohon yang dipenuhi dengan benalu.
Lantas dari mana kemunculan seluruh hal
tersebut? Ini erat kaitannya dengan cara kaum muslimin menerima Islam. Yakni,
bagaimana proses kepengikutan mereka terhadap agama Islam dan bagaimana pula
cara mereka menganutnya. Apakah mereka mengambilnya dari kepala, dari kaki,
dari tubuh, ataukah secara acak? Mereka mengambil sebagian ajaran Islam dan
meninggalkan sebagian lainnya. Mereka hanya mengambil kulitnya, sementara
intisarinya tidak. Atau sebaliknya, mengambil intisarinya dan meninggalkan
kulitnya. Pada akhirnya, Islam yang mereka anut tampil dalam bentuk “Tidak
mati di dalamnya dan tidak pula hidup”.[5]
Islam yang dipeluk tidak hidup juga tidak
mati. Tidak bisa dibilang eksis juga tidak dapat dikatakan tidak eksis. Ini
merupakan noktah paling mendasar yang harus dipikirkan bersama. Jika tidak
dipikirkan secara mendalam, bagaimana mungkin kita bisa melakukan kritik
terhadap peradaban dan budaya Eropa, sementara budaya dan saripati Islam yang
kita miliki belum otentik. Jika masyarakat dunia mengikuti kita, mereka tentu
tidak akan pernah maju. Apabila masyarakat dunia menjejaki langkah kita, mereka
pasti akan senasib dengan kita yang kini berada dalam kondisi yang nyaris
binasa.
Dalam Al-Qur’an disebutkan tentang bentuk
kehidupan yang Islami, kehidupan pemikiran yang Islami. Sebagaimana dengan
jelas diungkapkan dalam ayamya yang berbunyi: “Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu
kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu”.[6] Apakah
ciri-ciri kehidupan tersebut? Apa yang dimaksud dengan “hidup”? Al-Qur’an
menyebutkan bahwa masyarakat Jahiliyah adalah masyarakat yang mati. Dalam
sebuah ayat disebutkan: “Sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikan orang-orang yang mati mendengar.”[7] Dalam Ayat
lain juga dikatakan: “Dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikan orang
yang di dalam kubur dapat mendengar.”[8]
Masyarakat Jahiliyah merupakan masyarakat yang
terdiri dari orang-orang mati yang bergerak. Mereka adalah orang-orang mati
yang berjalan di muka bumi. Orang-orang seperti mereka tjdak bisa disebut
sebagai orang-orang yang hidup. Adapun berkenaan dengan orang-orang yang
beriman, Al-Qur’an menyerukan ajakan untuk menerima ajaran yang mampu
menganugerahkan kehidupan. Ajaran Islam memberikan jiwa, kekuatan, serta
kehidupan kepada manusia. Apa ciri-ciri kehidupan? Saya persilahkan Anda
bertanya kepada orang pandai, atau para filsuf yang bisa mendefinisikan
kehidupan, tentang ‘bagaimana sesuatu bisa dianggap hidup’. Apa arti hidup? Tak
seorangpun yang akan mengaku dirinya mampu mendefinisikan hidup. Hidup bisa
diketahui melalui tanda-tanda dan dampak-dampaknya. Hidup adalah hakikat yang
tidak diketahui, yang memiliki dua karakter: Pengetahuan dan gerakan.
Dikarenakan memiliki pengetahuan yang lebih,
manusia akan memiliki hidup yang lebih pula. Segala sesuatu yang memiliki
gerakan lebih banyak, akan memiliki hidup yang lebih banyak pula. Segala
sesuatu yang berpengetahuan minim akan menjadi sangat bodoh dan sangat mati.
Setiap kejumudan mencirikan kematian, dan setiap kejumudan yang sangat akan
menjadi kematian yang sangat pula. Segala sesuatu yang benar-benar kosong dari
pengetahuan akan mengalami kematian dalam kematian. Begitu pula halnya dengan
segala sesuatu yang benar-benar jumud.
Sekarang coba Anda simak, apakah kaum muslimin
yang ada sekarang ini merupakan masyarakat yang progressif ataukah stagnan?
Kita lebih banyak diam ataukah bergerak? Maksudnya, apakah masyarakat kita lebih
menghormati orang yang progressif ataukah orang yang jumud dan stagnan? Anda
bisa saksikan bahwa masyarakat kita lebih menghormati orang yang stagnan
ketimbang orang yang dinamis dan kritis. Ini merupakan ciri kematian suatu
masyarakat, di mana setiap orang yang kosong dari pengetahuan lebih dihormati
dan dikagumi. (Orang yang lebih banyak diam dan stagnan menandakan dirinya
tidak memiliki banyak pengetahuan, sedangkan orang yang dinamis menunjukkan
dirinya lebih banyak memiliki pengetahuan). (Bersambung ke Bagian Ketiga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar