Kamis, 02 April 2015

Dari Paris Hingga Iran, Sketsa Biografis Ali Syari’ati




Di Universitas Paris
Selama lima tahun di Universitas Paris, Syari’ati tidak saja berkesempatan meneruskan studinya tanpa terganggu hal-hal lain, tetapi dia pun berkenalan dengan buku-buku yang biasanya tidak terdapat di Iran. (Atau, andaikata ada, seringkali hanya dalam bentuk yang sudah tidak murni lagi). Ia bisa mempelajari dan beroleh pengetahuan langsung tentang berbagai aliran pemikiran sosial, ataupun karya-karya filsuf, sarjana dan penulis seperti Bergson, Albert Camus, Sartre, Schwartz, para-sosiolog seperti Gurwitsch dan Berque serta Islamolog seperti Louis Massignon.

Terutama ia sangat tertarik oleh, dan secara formal, mempelajari studi-studi Islam dan sosiologi. Aliran sosiologi Prancis yang analitis dan kritis rupanya sangat berkesan padanya, namun meskipun pernah tertarik oleh sosiologi semacam ini, pandangan sosial Syari’ati adalah gabungan antara ide dan aksi. Pendekatan positivis terhadap masyarakat, yang menganggap sosiologi sebagai ilmu mutlak, maupun pendekatan Marxis murni, baginya tidaklah meyakinkan. Pendekatan-pendekatan tersebut tidak mampu memahami atau menganalisa kenyataan-kenyataan di dunia non-industri, yang sering disebut sebagai Dunia Ketiga. Karena itu Syari’ati terus mencari sosiologi yang bisa menafsirkan dan menganalisa kenyataan-kenyataan kehidupan rakyat yang berada di bawah tindakan imperialisme, yang bahkan disetujui oleh kaum komunis Eropa, dalam perjuangan mereka merebut kembali martabat dan kemerdekaan.

Masa tinggal Syari’ati di Paris berkebetulan dengan periode revolusi Aljazair. Waktu itu berbagai partai dan kelompok di Eropa, bahkan para sarjana, termasuk para-sosiolog, saling berbeda pendapat, ada yang positif dan ada pula yang negatif, tentang nasib sekelompok umat Islam yang sudah seabad lebih menderita karena belenggu imperialis dan sekarang sedang melancarkan jihad mereka, hidup atau mati, bahkan sampai di bumi Prancis sendiri. Sangat menarik perhatian, bahwa baik Partai Komunis Prancis maupun Partai Komunis Aljazair sama mendukung penjajahan Prancis atas Aljazair dan menentang revolusi Aljazair.

Secara seksama Syari’ati mempertahankan dan mempelajari apa yang sedang berlangsung di Aljazair. Ia tidak pernah merasa terpisah dari perjuangan anti imperialis umat Islam di manapun juga dan ia merasa turut bertanggung jawab atas nasib mereka. Tetapi revolusi berdarah Aljazair benar-benar istimewa. Tidak seorang kawan atau lawan dapat mengabaikannya. Kalaupun ada maka tidaklah banyak peristiwa sejarah yang bisa mengimbangi perjuangan anti imperialis Aljazair. Sepuluh juta muslimin terlibat di dalamnya, para petani, mereka yang hidup di pegunungan, segenap muslimin di negeri itu, melancarkan jihad melawan salah satu angkatan perang imperialisme terkuat. Untuk itu Prancis mengerahkan 500.000 prajuritnya. Rakyat Aljazair harus merelakan sejuta syuhada, tetapi akhirnya mereka berhasil memotong garis mundur lawan dan membuatnya bertekuk lutut.

Suatu faktor yang sangat penting ialah bahwa seluruh kekuatan Muslim yang cinta damai, baik di dunia Arab maupun di mana saja, menyokong gerakan rakyat Aljazair itu, menganggapnya sebagai perjuangan mereka sendiri. Atas instruksi Front Pembebasan Nasional Aljazair maka sejumlah besar mahasiswa muslim, bahkan yang sedang duduk pada tahun-tahun terakhir di Fakultas Kedokteran dan Politeknik, sama meninggalkan bangku kuliah mereka untuk menggabungkan diri dalam barisan-barisan Mujahidin dan secara sukarela mengisi berbagai pas dan fungsi yang diperlukan oleh perjuangan pembebasan itu.

Dimensi lain dari perjuangan Aljazair itu berupa teori-teori serta pendapat-pendapat yang dilahirkannya, analisa-analisa filosofis, sosiologis dan psikologis demi untuk memahami dan menjelaskan masalah Aljazair yang berakar dalam itu. Kegiatan teoretis ini, yang berlangsung di dalam gerakan Aljazair sendiri maupun di luarnya, tercermin pada berbagai buku dan artikel dalam berbagai bahasa. El- Mujahid, organ Front Pembebasan Aljazair, memainkan peranan istimewa, memancarkan dan menganalisa perjuangan itu dalam bentuknya yang ideal. Pun para intelektual Prancis turut serta dalam kegiatan ini.

Menarik sekali ialah tulisan-tulisan dan buku-buku Franz Fanon. Sebagai warga negara Aljazair asal Martinique sejak awal hidup telah turut aktif dalam revolusi Aljazair dan telah menulis berbagai buku, seperti Yang Terkutuk di Bumi dan Tahun Kelima Revolusi Aljazair. Fanon ditemukan dan ditampilkan di kalangan cendekiawan Eropa oleh Jean-Paul Sartre. Tetapi Syari’ati lah sebenarnya yang pertama kali membahas karya-karyanya dalam artikel yang ditulisnya pada rahun 1962 untuk suatu jurnal sosio-politik yang diterbitkan oleh mahasiswa-mahasiswa Iran di Eropa. Menurut pendapat Syari’ati, buku Yang Terkutuk di Bumi, yang mengandung analisa sosiologis dan psikologis mendalam tentang revolusi Aljazair, adalah bingkisan intelektual yang berharga bagi mereka yang sedang memperjuangkan perubahan di Iran. Dengan menjelaskan teori-teori Fanon, yang tadinya hampir tidak dikenal sama-sekali, serta dengan menerjemahkan dan menerbitkan beberapa pokok pikirannya Syari’ati telah mengumandangkan ide-ide Fanon di kalangan rakyat Iran. Terpengaruh oleh Fanon mulailah bermunculan ungkapan-ungkapannya seperti berikut:

Kawan-kawan, mari kita tinggalkan Eropa, mari kita hentikan sikap meniru-niru Eropa. Mari kita tinggalkan Eropa yang sok berbicara tentang kemanusiaan, tetapi di mana-mana kerjanya membinasakan manusia”. Ide-ide Fanon telah disajikan secara tepat oleh Syari’ati yang bersimpati penuh kepadanya dan benar-benar menjiwai kebenaran pendapat-pendapatnya. Akibatnya, Fanon jadi terkenal dan dihormati di Iran, sehingga tidak sedikit cendekiawan yang mempelajari dan menerjemahkan karyanya.

Syari’ati juga memperkenalkan ide-ide para penulis revolusioner Afrika lainnya, termasuk Umar Uzgan, yang menulis Perjuangan Utama (Afdhal el-Jihad), maupun beberapa penulis dan penyair non-Muslim lain. Karena ia yakin bahwa ide-ide yang sedang berkembang di berbagai gerakan rakyat maupun gerakan Islamiyah di Afrika bisa mengilhamkan suatu dinamisme intelektual baru bagi perjuangan sosial dan politik Muslimin Iran. Dan memang ia selalu menyarankan kepada teman-teman maupun murid-muridnya agar mereka memetik manfaat intelektual dari setiap gerakan atau perjuangan lslamiyah yang murni di zaman kita.

Baik studinya tentang karya-karya serta ide-ide para pemikir tertentu sewaktu ia berada di Eropa, maupun perjumpaannya secara pribadi dengan mereka tidaklah meninggalkan pengaruh atas dirinya dalam pengertian pasif (sebagaimana terlalu sering terjadi dengan para inteiektual kita), tetapi itu merangsangnya untuk memperkembangkan ide-ide baru yang orisinal dan kreatif. Studi dan pemahamannya tentang masyarakat tidaklah didasarkannya atas sosiologi formal dan resmi melainkan atas gerak masyarakat yang aktual dan bisa diamati. Sementara itu studi-studi serta analisa-analisa obyektifnya tidak pernah luput dari kritikan. Selama tinggal dan belajar di Paris, yang berakhir dengan gelar doktor yang diraihnya di bidang ilmu-ilmu social, perhatiannya tidak hanya kepada pelajaran, hapalan dan persiapan ujian, sebagaimana halnya para mahasiswa lainnya, melainkan lebih banyak untuk memperkembangkan diri menjadi syahid yang sadar dan waspada.

Ada tiga aspek kegiatannya waktu itu yang membedakannya dari orang lain: perjuangan intelektual, perjuangan praktis dan perjuangan untuk menumbuhkan suatu sistem pendidikan yang benar. Ketiga bentuk perjuangan tersebut berorientasi kepada rakyat, atau, lebih luas lagi, kepada umat. Karena itulah ia tidak membiarkan dirinya terlibat total dalam pergolakan kegiatan politik mahasiswa, karena ia mendambakan sesuatu yang lebih langgeng serta berharga untuk rakyatnya. Tulisan-tulisan dan serba usahanya adalah demi kepentingan rakyatnya, dan lebih dari siapa pun, ia menatap massa rakyat sebagai titik orientasi yang unik dan tetap.

Masa Syari’ati di Paris jatuh bersamaan dengan suatu tahap baru dan vital, yakni tumbuhnya kelompok progresif dalam gerakan keagamaan di dalam negeri Iran. Sesudah suatu selingan singkat yang menghembuskan angin kebebasan di Iran maka tirani dan penindasan kembali merajalela di negeri itu. Kembalilah penahanan-penahanan dan pemeriksaan-pemeriksaan, hukuman-hukuman penjara yang panjang serta penganiayaan semena-mena. Sasaran utama penindasan itu ialah para nasionalis yang berorientasi agama, khususnya mereka yang terlibat dalam Gerakan Pembebasan (Nehzat-e Azadi). Peristiwa bersejarah 12 Muharram 1383/5 Juni 1963 menimbulkan pula suatu aspek baru dalam gerakan Islamiyah di Iran serta memisahkan para mujahidin sejati dari demonstran-demonstran musiman.

Dalam gerakan inilah Syari’ati termasuk dan melibatkan diri, tanpa henti ia menuliskan dan memproklamirkan apa yang diyakininya sebagai suatu yang hak serta menganalisa gerakan Islamiyah yang telah terbentuk di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini. Sementara itu, sebagian besar penerbitan berbahasa Persia di luar negeri selalu saja bernada non-agama, bahkan anti-agama, sekalipun gerakan di dalam negeri Iran secara fundamental adalah Islamiyah dan seluruh asasnya adalah ideologi keagamaan progresif. Para intelektual Iran di luar negeri cenderung mengabaikan kenyataan sosial dalam negeri Iran serta hakekat perjuangan rakyatnya, karena maksud buruk, persekongkolan diam-diam ataupun akibat kebodohan mereka. Peristiwa dalam negeri Iran hanya mereka siarkan secara singkat sekali, sambil menyisipkan kritik mereka di dalamnya.

Untunglah, Syari’ati, bersama beberapa orang yang sependapat dengannya, dapat menerbitkan sebuah jurnal berbahasa Persia yang beredar luas di Eropa. Dengan wibawa pikiran dan tulisannya, ia memanfaatkannya menjadi organ yang paling serius dan realistis, mendukung gerakan rakyat Iran. Dalam jurnal ini terciptalah keselarasan antara ide-ide kelompok intelektual Iran di luar negeri dan perjuangan rakyat di dalam negeri.

Ringkasnya, masa studi Syari’ati di Prancis ditandai oleh pemikiran dan aktivitasnya terus-menerus, dan ia berkembang menjadi seorang yang sangat mempengaruhi aliran pikiran orang-orang Iran di luar negeri. Banyak kegiatannya yang menonjol, namun kami tidak bisa menyajikannya di sini secara lebih terperinci. Kami hanya akan menyampaikan secara ringkas pengaruh karya Syari’ati, pemikir militan itu.

Kembali ke Iran
Dalam suatu artikel dalam Kayhan, sebuah surat-kabar setengah resmi, sehubungan dengan wafatnya Syari’ati , terbaca sebagai berikut:

Pada tahun 1964, ketika Syari’ati mengira bahwa ia telah lebih siap untuk mengabdi kepada negerinya, rakyatnya serta agama Islam, ia pulang ke Iran bersama isteri dan kedua orang anaknya...ia membawa suatu hadiah berharga untuk masyarakat Iran. Karena ia telah menemukan pendekatan terhadap agama yang samasekali baru, dan ia juga telah bertekad bulat untuk melancarkan jihad, dengan senjata logika dan dalam kerangka ajaran Islam yang hak, menentang khurafat, sektarianisme dan kemunafikan yang merusak bangsa Iran maupun Islam. Sekembali di Iran, dia diangkat menjadi guru besar di Universitas Masyhad.

Kedua pernyataan yang mula-mula tersebut di atas bisa kita terima, sedangkan pernyataan ketiga tampaknya memang logis dan wajar; jika Syari’ati membawa hadiah yang begitu berharga untuk negerinya, maka tempat yang paling tepat baginya untuk bergerak ialah di universitas. Namun yang terjadi bukan demikian. Begitu ia tiba di Bazargan ―di perbatasan Iran dan Turki― setelah lima tahun meninggalkan negerinya, ia ditahan di hadapan isteri dan anak-anaknya dan langsung dipenjarakan. Lama ia tidak dibolehkan bertemu dengan ayahandanya. Setelah ke luar dari penjara, ia diharuskan selama beberapa tahun bekerja sebagai guru pada berbagai sekolah menengah dan Sekolah Tinggi Pertanian. Sebelum ke luar negeri, ia memang sudah mengajar di sekolah-sekolah setingkat itu. Lalu buat apa gelar doktor dan hadiah berharga untuk masyarakat Iran yang di bawanya? Begitulah rupanya cara Iran menyambutnya.

Sepanjang hayatnya, tanah airnya sendiri menjadi penjara baginya dengan segala bentuk keterasingan, penderitaan dan tekanan yang dialaminya. Tetapi justru itu membuatnya lebih mantap meneruskan perjuangannya. Beberapa tahun kemudian, tanpa mengajukan permintaan, ia ditempatkan di Universitas Masyhad, mungkin karena kebetulan atau kekeliruan.

Mulailah ia mengabdikan dirinya langsung membimbing angkatan muda. Para mahasiswa dari pelbagai fakultas merasa bangga menjadi mahasiswanya, menghadiri ceramah-ceramah dan kuliah-kuliahnya. Tetapi rupanya pihak universitas tidak menyenangi keadaan ini. Syari’ati dihadapkan dengan pandangan yang picik, sikap kerdil, cemburu dan dengki. Universitas Masyhad ternyata tidak bisa mentolerir kuliah-kuliah Syari’ati yang lebih menyukai metoda pengajaran bebas daripada yang konvensional. Baginya tidak ada perbedaan antara kebebasan dan pengetahuan. Walhasil, tidak lama kemudian ia harus berhenti!

Keluarnya dari Universitas Masyhad ternyata meluangkan kesempatan baginya untuk merintis aktivitas baru secara intensif. Melalui ceramah-ceramah, kuliah-kuliah bebas serta buku-bukunya yang menganalisa masalah-masalah sosial dan keagamaan, ia berhasil menciptakan aliran pikiran baru di kalangan angkatan muda maupun masyarakat secara keseluruhan. Sebagai akibatnya, ia harus mendekam lagi selama lima ratus hari dalam tahanan tanpa pemeriksaan, dan akhirnya menjadi syahid dalam pengasingan.

Dr. Syari’ati, dalam artian sepenuhnya, adalah seorang penganut tauhid, seorang intelektual yang memiliki rasa tanggungjawab sosial yang mendalam. Tidak pernah sekejap pun ia mengelakkan tanggungjawab. Ia telah membuktikan, bersama dengan segelintir mujahid lainnya, bahwa dalam suasana lahiriah dewasa ini, masih terbuka kemungkinan untuk mengorbankan seluruh hidup ―studi, profesi, kerja, bahkan keluarga― demi kewajiban menyampaikan risalah.

Telah diabdikannya segenap waktunya untuk jihad, untuk dakwah Islam, demi untuk menyelamatkan generasi yang terlupakan dan yang sedang dalam kegelapan ini dari kebingungan dan kesesatan. Dihadapinya serba rintangan dan kesukaran. Berbagai daya untuk menyabotase usahanya telah dilancarkan oleh anasir jahat yang bertopeng kesucian. Namun eksposisinya yang mantap, logis tegas dan rasional ternyata sangat membekas atas masyarakat Iran dan meruntuhkan posisi ideologis reaksi dalam negeri maupun imperialisme asing. Karyanya yang tidak sedikit menjadi mercusuar bagi generasi baru. Rahimahu’llah!

Sumber Bahasa Indonesia: Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas (Sebuah Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem, Penerbit Al-Huda Muharram 1422/April 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar