Radar Banten, 10 September 2014
Betapapun harus diakui
bahwa isu Islam dalam kancah global sudah sering ditulis, dan karena itu
tulisan ini hanya ingin menyoroti satu hal saja: sejauh mana masyarakat muslim
sanggup “mengintegrasikan” ideologi Islam-nya dengan tuntutan kemajuan dan
kompetisi global yang begitu cepat berubah, bahkan acapkali tak terduga,
terutama sekali dalam pencapaian sains dan inovasi. Terus-terang, penulis termasuk
orang yang mengagumi Iran sebagai Negara Islam yang menurut penulis telah
membuktikan diri mereka bahwa dengan menjadi “muslim” tidak harus identik
dengan ketertinggalan dalam bidang sains. Iran bahkan telah mematahkan stigma
Barat bahwa agama tidak sejalan dengan kemajuan dan sains. Iran mampu
membalikkan hal tersebut ketika mereka sanggup menjadikan Islam sebagai sumber
dan inspirasi saintifik mereka. Apalagi prestasi Iran ini justru diraih ketika
Negara itu mengalami embargo Barat dan Amerika berkali-kali hingga saat ini.
Seperti dilansir sejumlah
artikel dan laman-laman sains, dan sebagaimana disampaikan juga oleh Behrouz
Kamalvandi (Dubes Republik Islam Iran untuk Indonesia), Iran bahkan telah
sanggup memulai dan mengembangkan tekhnologi yang hanya dapat dilakukan
segelintir Negara, yaitu tekhnologi air berat (heavy water) yang membuat Barat
kaget dan terkejut. Air Berat, sebagaimana disampaikan Behrouz Kamalvandi itu,
jika dilihat dengan mata telanjang nyaris sama dengan air-air yang lain. Tapi
perlu diketahui, demikian tegas Kamalvandi, Allah Swt menciptakan sesuatu di
dalam air yang kini disebut Deuterium, yang jika dinaikkan dan dikayakan maka
akan menggantikan fungsi uranium, sehingga dengannya akan memenuhi kebutuhan
energi dan pengobatan, semisal mengobati kanker (Lihat Majalah Syi’ar
Edisi Maulid 1429 H/Maret 2008, hal. 77).
Inovasi Militer
Iran juga tak hanya
mengukir prestasi dalam tekhnologi nuklir, dan juga tekhnologi air berat
seperti yang telah disebutkan, untuk kepentingan damai dan domestik mereka,
tapi juga berhasil menciptakan perangkat-perangkat keras dan lunak militer
mereka. Rupa-rupanya capaian Iran tersebut tak lepas dari ketekunan mereka
dalam riset, selain alih tekhnologi dari Rusia. Dalam bidang militer ini,
mereka misalnya telah mampu menciptakan missile (rudal), drone, dan satelit.
Selain tentu saja, menciptakan robot-robot canggih dalam bidang kesehatan dan
bidang-bidang sains dan tekhnologi lainnya. Memang pula harus diakui bahwa
bangsa Persia sejak dulu telah melahirkan saintis-saintis dan filsuf-filsuf
muslim, yang menurut sejumlah sejarawan saintis-saintis dan filsuf-filsuf
muslim Persia mencapai 70% dari keseluruhan dunia Islam di jaman-jaman keemasan
peradaban Islam. Tapi sepertinya hal itu bukan variable yang ajeg bagi Iran
saat ini, sebab menurut beberapa analis pencapaian Iran tersebut tak lepas dari
kemandirian politik dan ekonomi mereka yang berani berhadapan dengan Amerika
dan Barat, hingga harus menanggung embargo berkali-kali itu.
Ada banyak analis dan
pengamat yang mengakui bahwa pintu pertama kemandirian dan rasa percaya diri
Iran tersebut dimulai dengan Revolusi Islam Iran tahun 1979, yang di mata para
analis tersebut, Iran adalah gambaran “muslim yang percaya diri dengan ideologi
Islam-nya, di mana Islam mengajarkan untuk mempraktekkan keadilan dan ikhtiar
untuk merubah nasib dengan kekuatan dan kepercayaan diri ummatnya. Dan secara
politik, Iran adalah cerminan bangsa yang membuktikan keberhasilan “Demokrasi
Islam”.
Dalam catatan jurnalistik
dan kesan pribadinya, misalnya, Dr. Alexander Prokhanov menyatakan, “Keadilan
adalah asas utama filsafat keagamaan dan sistem kenegaraan Islam. Keadilan
inilah yang melahirkan satu bentuk demokrasi di Iran. Pemilihan umum adalah
salah satu aturan di Iran yang mengikat dan tidak bisa diubah. Pemilu ini
meliputi pemilihan anggota parlemen, presiden maupun untuk memilih pemimpin
spiritual. Ayatullah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran adalah sosok
pemimpin yang memegang kekuasaan spiritual di Iran. Dia tidak datang dari
langit, tapi dipilih lewat mekanisme pemilihan di lingkungan rohaniawan.
Pemerintahan Iran tidak mengenal keputusan individu. Kebijakan yang diputuskan
diambil lewat musyawarah dan koordinasi yang ketat antara berbagai pusat
kekuasaan. Koordinasi secara kontinyu terkait kepentingan Iran inilah yang
membuat iklim politik di negara ini terkendali, serasi dan tidak ekstrim.”
Soft Power
Namun demikian, meski Iran
juga memprioritaskan kemajuan tekhnologi sipil dan militernya, sebagaimana
dikemukakan Dina Y. Sulaeman, secara diplomatik dan politik Iran mendasarkan
dirinya pada pilihan untuk mengedepankan “soft power” dalam kancah hubungan
politik globalnya. Dengan mengutip langsung apa yang dikatakan Dina Y.
Sulaeman, “secara ringkas bisa dikatakan bahwa subtansi soft power adalah sikap
persuasif dan kemampuan meyakinkan pihak lain, di mana hal demikian berbeda
dengan hard power yang menggunakan kekerasan dan pemaksaan dalam upayanya
menundukkan pihak lawan. Karena itulah, dalam pilihan soft power ini,
mentalitas menjadi kekuatan utama dan investasi terbesar yang dibangun Iran
adalah membangun mental ini, bukan membangun kekuatan militer. Pemerintah Iran
berusaha untuk menumbuhkan nilai-nilai bersama, antara lain nilai tentang
kesediaan untuk berkorban dan bekerja sama dalam mencapai kepentingan
nasional”.
Agama Selaras Dengan
Kemajuan
Dan seperti yang berusaha
dimaksudkan tulisan ini bahwa Iran adalah contoh sebuah masyarakat dan bangsa
yang berhasil mementahkan stigma bahwa agama tidak selaras dengan sains, adalah
menarik sebagaimana dikatakan Dr. Alexander Prokhanov bahwa kebanggaan
masyarakat Iran sebagai muslim justru membuat mereka kreatif dan inovatif.
Prokhanov menyatakan: “Di Iran energi manusia tidak disalurkan untuk aktivitas
gila atau pemuasan hawa nafsu, tapi digunakan untuk meraih kematangan
spiritual, mengembangkan kreativitas dan menyesuaikan kehidupan duniawi dengan
kehidupan ilahi yang tak berbatas.”
Apa yang dinyatakan
Prokhanov tersebut memang tidak jauh berbeda dengan pernyataan Behrouz
Kamalvandi beberapa tahun silam, “Janganlah dibayangkan bahwa kita akan
menyelesaikan masalah dunia ini langsung pada hal yang global tanpa dimulai
dari dalam diri kita sendiri. Kalau kita berhasil menundukkan hawa-nafsu kita,
atau menang atas kebatilan di dalam diri kita, barulah kita akan berhasil untuk
menyelesaikan problem dan pertentangan antara hak dan batil di luar diri kita.
Begitu pula problem perpecahan yang terjadi di tengah masyarakat harus menjadi
fokus kita. Apa yang kita saksikan sesungguhnya tidak lepas dari hegemoni
sebagian kelompok yang ingin menancapkan kukunya pada semua sendi kehidupan
global. Inti kemenangan Revolusi adalah iman dan takwa kepada Allah Swt. Kalau
kemajuan di Iran hanya diukur dari kemajuan material, maka Barat justru lebih
maju daripada Iran, dan kita akan kembali jatuh dalam keputusasaan. Kita merasa
bahwa kita masih kecil dan tidak punya apa-apa. Kita harus melihat segala
kemajuan ini dari sisi mukjizat Allah Swt. Apa yang kami dapatkan sekarang ini
dengan berbagai latar-belakang yang kami miliki, juga dengan berbagai kondisi
dunia yang ada pada saat ini, adalah mukjizat dan tangan-tangan Allah yang
selalu membantu kami. Di situlah kita akan merasa bahwa diri kita mampu dan
memiliki kepercayaan diri.” Semoga bangsa kita pun demikian.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar