Kabar Banten, 12 September 2013
“Apa yang kita sebut
Banten adalah ketika yang Jawa, yang Sunda, dan yang Melayu berpadu. Banten
adalah sebuah miniatur multikultur.”
Kebudayaan bukanlah semata
entitas dan unsur sampingan, tapi merupakan “pembentuk” siapa dan “apa”
masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini, kita dapat mengatakan bahwa
“kebudayaan Banten” merupakan “jiwa sejarah” Banten yang terbukti tetap
lestari, meski di tengah kontestasi dan pergesekan “dunia kapitalisme” mutakhir
yang cepat dan sulit dihindari seperti sekarang ini. Hingga dapatlah dikatakan,
masyarakat dan bangsa yang tidak memiliki sastra, seni, dan budaya adalah
masyarakat dan bangsa yang tak memiliki jiwa.
Definisi dan Koherensi
Ada banyak definisi dan
pengertian kebudayaan, yang dengan beberapa definisi dan pengertian tersebut,
setidak-tidaknya kita akan dapat mengidentifikasi segala produk dan jenis
kebudayaan itu sendiri. Contoh definisi dan pengertian kebudayaan itu,
misalnya, mengatakan kebudayaan merupakan suatu “proses” perkembangan yang
sifatnya intelektual, estetis, dan bahkan spiritual. Sementara itu, secara
etnografis dan antropologis, kebudayaan dapat dipahami sebagai pandangan hidup
dari suatu masyarakat tertentu. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa
kebudayaan adalah juga karya dan praktik-praktik intelektual yang sifatnya
literer dan artistik.
Meskipun demikian,
kebudayaan itu sendiri bila kita memahaminya sebagai sebuah proses dan
kreativitas, bisa menjadi berkembang, bertahan, atau hilang ketika berhadapan
dengan situasi baru atau perkembangan jaman, di mana kemajuan tekhnologi dan
percepatan ekonomi kapitalisme saat ini, sebagai contohnya, telah menggantikan
dan menggusur praktik-praktik dan bahkan norma-norma yang pernah dianut dan
dipercayai oleh masyarakat. Jika demikian, maka apa yang akan kita sebut
kebudayaan sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan sebagai medan atau arena
pertarungan kreativitas dan perkembangan intelektual itu sendiri.
Seperti telah sama-sama
kita tahu, banyak sekali bentuk-bentuk dan jenis-jenis kebudayaan masyarakat
yang pernah ada, saat ini telah hilang, atau tak lagi dipercayai dan
dipraktikkan oleh masyarakat yang pernah mempercayainya, mempraktikkannya, dan
memproduksinya karena faktor pergesekan dan pertarungan dengan perkembangan
politis, ekonomis, dan sosiologis masyarakat sekarang yang harus diakui
mengalami gempuran setiap hari, yang seakan tanpa jeda, dari hiruk-pikuk apa
yang lazim disebut sebagai jaman kapitalisme mutakhir saat ini.
Akan tetapi, beberapa
waktu belakangan ini, yang oleh beberapa pemikir dan pemerhati kebudayaan
mengganggapnya merupakan bentuk encounter dan arah-balik pencaharian dahaga
spiritual akibat kejenuhan, untuk tidak mengatakan sebagai kekeringan
spiritual, masyarakat modern, yang bersama-sama gerakan ekologis, berusaha
menggali dan menghidupkan kembali kearifan-kearifan lokal, yang sebagiannya
masih ada di saat kebanyakannya sebenarnya telah menghilang alias tak lagi
dipercaya, dipraktikkan atau pun diproduksi. Tak terkecuali untuk kasus Banten,
yang secara historis merupakan tempat hidupnya sejumlah kebudayaan kuno yang
pernah ada.
Sebagai kompleks wawasan,
praktik, dan produk intelektual, E.B. Taylor, misalnya, mendefinisikan
kebudayaan sebagai kesuluruhan pengetahuan, seni, hukum, adat-istiadat, norma
keyakinan, dan juga kebiasaan atau custom yang hidup, ada, dianut, dan
dipraktikan oleh suatu masyarakat atau komunitas kebudayaan.
Tidak jauh berbeda dengan
artian kebudayaan yang dikemukakan E.B. Taylor tersebut, para pemikir dan
penulis Cultural Studies, semisal Raymond Williams dan Chris Barker, untuk
menyebut dua contoh lainnya, memandang dan memahami kebudayaan sebagai sesuatu
atau hal-hal yang dihidupi, sejenis living culture, dalam kehidupan sehari-hari
alias keseharian masyarakat itu sendiri. Meskipun Raymond Williams dan Chris
Barker dikenal sebagai pemikir dan penulis Cultural Studies, namun definisi
kebudayaan yang mereka ajukan tersebut masih tergolong arti kebudayaan dalam ranah
dan pengertian antropologis seperti yang dikemukakan E.B. Taylor. Di mana
kebudayaan merupakan kompleks wawasan dan praktik yang di dalamnya juga
mencakup produk-produk benda atau materi, norma, dan simbol-simbol yang ada dan
dihidupi oleh sebuah atau suatu masyarakat.
Tilikan Historis dan
Arkeologis
Selain definisi dan
identifikasi kebudayaan seperti yang telah dikemukakan E.B. Taylor, Raymond
Williams, dan Chris Barker yang berwawasan sosiologis dan antropologis itu, hal
lain yang juga penting untuk mengidentifikasi kebudayaan Banten adalah sejarah,
dan juga arkeologi budaya, Banten itu sendiri. Dari sudut pandang dan
pendekatan historis yang sifatnya kronik ini, contohnya, kita dapat melacak
lahir, tumbuh, dan keberadaan kebudayaan Banten dalam perjalanan sejarah
masyarakat Banten, seperti kebudayaan yang berkaitan dengan aspek sejarah
keagamaan yang di dalamnya mencakup ritual, peninggalan benda-benda keagamaan
dan arsitektur, sebagai contohnya, dari mulai pra-sejarah Banten, era
Hindu-Budha, hingga datangnya Islam.
Secara historis, dan ini
sekedar sebagai sekilas ilustrasi sejarah, ada sejumlah kesenian yang dihidupi
dan dipraktikkan masyarakat Banten masa silam ketika itu, alias sebagai living
culture, sebagai ragam kepercayaan, semisal perayaan ketika masyarakat Banten
melakukan festival penyambutan Maulana Hasanuddin sekembalinya dari Cirebon dan
Demak ke Banten sebagaimana yang dikisahkan dalam Hikayat Maulana Hasanudin.
Atau ketika mereka merayakan telah dibangunnya kotaraja atau ibukota Kerajaan
Islam Banten yang baru di Banten Pesisir, setelah sebelumnya beribukota di
Banten Girang ketika Islam yang dibawa Maulana Hasanuddin dan Ki Santri telah
diterima oleh sejumlah lapisan masyarakat Banten Girang.
Dalam hikayat itu
diceritakan bagaimana rakyat mementaskan kendang pencak silat, calung rengkong,
tetabuhan lesung, hingga menabuh rebana oleh sekelompok penabuh sembari
diiringi dendang sholawat ketika mereka mengadakan perayaan, seperti ketika
mereka menyambut kepulangan dan kembalinya Maulana Hasanuddin ke Banten,
setelah Maulana Hasanuddin menjadi salah-seorang senopati Kesultanan Demak demi
menghadapi serangan ribuan pasukan Majapahit yang belum masuk Islam ketika itu.
Kebudayaan Banten
Sebagai Khazanah Keagamaan
Jika kebudayaan memang
sekompleks wawasan dan kepercayaan yang koheren seperti yang dikemukakan E.B.
Taylor itu, maka dapatlah dikatakan beberapa kesenian masyarakat Banten lahir
dan berkembang bersama-sama dengan wawasan religius dan atau praktik-praktik dan
kepercayaan keagamaan yang dianut masyarakat Banten, dari semenjak era
pra-Islam hingga ketika Banten menganut agama Islam. Di masa-masa era Islam,
alias di jaman panjang Kesultanan Banten, beberapa kesenian Banten tersebut
bahkan khusus dipentaskan hanya untuk kalangan istana atau bagi keluarga sultan
Banten, seperti ketika mereka menyambut dan menjamu tamu-tamu asing dari Eropa
dan dari Negara-negara lainnya, semisal gamelan dan tayuban.
Rupa-rupanya, bila kita
mencermati kebudayaan dari segi tilikan historis dan yang sifatnya kronik ini,
kebudayaan Banten sedikit-banyaknya memang lahir, berkembang, dipraktikkan, dan
“didasarkan” pada wawasan keagamaan, selain karena memang lahir dan bersumber
dari kearifan-kearifan lokal-asli masyarakat Banten. Di sinilah, jika
kebudayaan juga dipahami sebagai kreativitas, kebudayaan masyarakat Banten
dapat dikatakan sebagai bertemu dan berpadunya “kebudayaan lokal” masyarakat
Banten itu sendiri dengan pengaruh-pengaruh wawasan keagamaan yang kemudian
datang dan memperkaya alias melengkapinya, jika tidak dibilang turut juga
merubah bentuk dan makna kebudayaan masyarakat Banten itu sendiri.
Secara historis pula,
Banten bahkan bisa dikatakan sebagai “Negeri Terminal Sejarah Interaksi”
sejumlah jenis, bentuk atau ragam kebudayaan dan keagamaan, bila kita meminjam
istilahnya Denys Lombard dan Henri Chambert-Loir. Di mana dalam sejarahnya yang
panjang, Banten memang telah menjadi semacam “jalur persinggahan” alias
Carrefour beragam pengaruh keagamaan dan kebudayaan dalam skala sejarah
Nusantara, ketika pengaruh kebudayaan India, Cina, dan kemudian Islam kemudian
hadir dan bertemu, entah kemudian saling-melengkapi atau mengalami
“kontestasi”. Dalam hal ini, bukti yang paling nyata adalah sejumlah
peninggalan benda dan arsitektur Kesultanan Banten, yang mencerminkan bentuk
dan ekspressi simbolik yang sifatnya multikultur alias “ragam jejak
kebudayaan”, semisal era pra-Islam, Cina, dan Eropa.
Tak hanya dalam arsitektur
dan benda-benda, sejumlah kesenian tradisional dan kesenian keagamaan
masyarakat Banten juga menunjukkan jejak-pengaruh ragam-budaya tersebut, entah
kemudian saling-melengkapi atau mengalami “kontestasi”, yang pastilah
mencerminkan kreativitas kebudayaan masyarakat Banten itu sendiri. Secara
historis, sebagaimana yang dikemukakan banyak sejarawan dan arkeolog, Banten
adalah “negeri” dan “masyarakat” yang tua, yang memiliki sejarah yang panjang,
yang pastilah juga menyangkut kebudayaannya, bila kebudayaan lahir, ada, dan
berkembangnya sebuah kebudayaan juga dipahami sebagai “interaksi
historis-kultural” seperti yang dikatakan Denys Lombard dan Henri Chambert-Loir
itu.
Di Banten, sebagaimana
dikemukakan para sejarawan dan arkeolog, “yang Sunda”, “yang Jawa”, dan “yang
Melayu” bertemu dan berpadu, yang kemudian membentuk sejarah, identitas, dan
budaya Banten itu sendiri. Hingga apa yang kita sebut Banten, demikian ujar
Claude Guillot, adalah ketiganya sekaligus. Meskipun tentu saja, secara
historis pula, tentulah masih dapat dilacak dan dikaji unsur-unsur lokal Banten
sebelum Islam menjadi wawasan dan lanskap dominan kepercayaan dan juga “wawasan
kebudayaan” masyarakat Banten, yang dalam sejarahnya memang telah mengalami
pembauran alias akulturasi yang saling melengkapi dan memperkaya antara warisan
“lokal pra-Islam” dengan unsur-unsur Islam, semisal dalam seni tradisi, adat,
kesusastraan, arsitektur, dan yang lainnya yang banyak jumlahnya.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar