Kamis, 12 Maret 2015

Bertrand Russell Versus Murtadha Muthahhari –Bagian Pertama




Bertrand Russell dan Murtadha Mutahhari, meski saling bertolak-belakang satu sama lain dalam hal kepercayaan, paradigma, dan lanskap epistemologis intelektual mereka, sama-sama memiliki konsen yang intens dalam masalah interaksi, hubungan, dan dialektika agama dan ilmu (pengetahuan sekuler). Tak terkecuali menyangkut isu-isu atau materi-materi bahasan pelik seputar teisme adan ateisme – di mana dalam masalah ini, mereka akan terlihat nyata dan jelas saling bertolak belakang dan bertentangan satu sama lain.

Russell, di satu sisi, adalah seorang filsuf dan pemikir bebas yang mendaku diri sebagai seorang agnostik (menunda keputusan apakah Tuhan ada atau tidak ada) –yang kadangkala pendapat dan kritik-kritiknya terhadap agama acapkali tidak jauh berbeda dengan kritik yang dilancarkan kaum ateis terhadap agama. Sedangkan Muthahhari, di sisi lainnya, adalah seorang faqih, ‘ulama, sekaligus filsuf yang menjadikan Islam (Syi’ah)-nya sebagai basis dan dasar bagi tulisan-tulisan dan pemikiran-pemikiran intelektualnya, sembari dengan gigih senantiasa berusaha membuktikan bahwa Islam adalah dasar dan khazanah intelektual dan pemikiran itu sendiri, yang dengan demikian, baginya tak ada pertentangan antara Islam dan intelektualisme atau antara Islam dan pengetahuan:

“Ilmu pengetahuan memberikan kepada kita cahaya dan kekuatan. Agama memberi kita cinta, harapan dan kehangatan. Ilmu pe­ngetahuan membantu menciptakan peralatan dan mempercepat laju kemajuan. Agama menetapkan maksud upaya manusia dan sekaligus mengarahkan upaya tersebut. Ilmu pengetahuan membawa revolusi lahiriah (material). Agama membawa revolusi batiniah (spiritual). Ilmu pengetahuan menjadikan dunia ini dunia manusia. Agama menjadikan kehidupan sebagai kehidupan manusia”.

Sebaliknya, Russell yang lebih menjadikan sains dan empirisisme-nya sebagai dasar paradigma intelektualnya, tak segan-segan bersikap enteng dan tanpa beban ketika “mengkritisi” dogma religius, sebagaimana diakui sendiri dalam otobiografinya: “Ketika saya menemukan dalam Autobiography Mill kalimat ‘ayah saya mengajari saya bahwa pertanyaan siapa yang menciptakan saya?’ tidak bisa dijawab karena pertanyaan itu segera memunculkan pertanyaan berikutnya ‘siapa yang menciptakan Tuhan’?” –di mana bagi kaum agamawan, retorika Mill yang kembali diungkapkan Russell tersebut juga ‘rancu’ karena mengandaikan “Sang Pencipta” ada “yang menciptakan”, yang secara logika tak dapat diterima.

Kita tahu, berbeda dengan Muthahhari yang memahami khazanah Islam (Syi’ah-nya) sebagai mata air dan khazanah ilmu dan hikmah intelektual dan tulisan-tulisannya, Russell (yang dengan basis pengetahuan dan tradisi Kristianisme) lingkungan dan keluarganya, seringkali lantang menyatakan bahwa dalam sejarah ummat manusia, utamanya sejarah Eropa dan Barat, acapkali agama “menghalangi” jalan kemajuan sains dan ilmu pengetahuan: “Konflik antara sains dan agama, yang mulai meruncing pada abad 16, dalam berbagai bentuknya, berlanjut sampai jaman kita saat ini.”

Namun, berbeda dengan Russell, Muthahhari, ketika melihat hubungan, interaksi, atau dialektika antara agama (Islam) dan sains ini, memandangnya dengan paradigma harmonis dan saling melengkapi, bukan saling bertentangan sebagaimana Russell memandangnya: “Hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama dapat dibahas dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah kita lihat apakah ada sebuah agama yang konsepsinya melahirkan keimanan dan sekaligus rasional, atau semua gagasan yang ilmiah itu bertentangan dengan agama, tidak memberikan harapan dan tidak melahirkan optimisme.

Sudut pandang kedua yang menjadi landasan dalam membahas hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan adalah pertanyaan tentang bagaimana keduanya ini berpengaruh pada manusia. Apakah ilmu pengetahuan membawa kita ke satu hal, dan agama membawa kita kepada sesuatu yang bertentangan dengan satu hal itu? Apakah ilmu pengetahuan mau membentuk (karakter) kita dengan satu cara dan agama dengan cara lain? Atau apakah agama dan ilmu pengetahuan saling mengisi, ikut berperan dalam menciptakan keharmonisan kita semua? Baiklah, kita lihat sumbangan ilmu pengetahuan untuk kita dan sumbangan agama untuk kita….

Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama memberikan kekuatan kepada manusia. Namun, kekuatan yang diberikan oleh agama adalah berkesinambungan, sedangkan kekuatan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan terputus-putus. Ilmu pengetahuan itu indah, begitu pula agama. Ilmu pengetahuan memperindah akal dan pikiran. Agama memperindah jiwa dan perasaan. Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama membuat manusia merasa nyaman. Ilmu pengetahuan melindungi manusia terhadap penyakit, banjir, gempa bumi dan badai. Agama melindungi manusia terhadap keresahan, kesepian, rasa tidak aman dan pikiran picik. Ilmu pengetahuan mengharmoniskan dunia dengan manusia, agama menyelaraskan manusia dengan dirinya….

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa akibat dari memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama, telah terjadi kerugian yang tak dapat ditutup. Agama harus dipahami dengan memperhatikan ilmu pengetahuan, sehingga tidak terjadi pembauran agama dengan mitos. Agama tanpa ilmu pengetahuan berakhir dengan kemandekan dan prasangka buta, dan tak dapat mencapai tujuan. Kalau tak ada ilmu pengetahuan, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik. Kasus kaum Khawarij pada zamah awal Islam dapat kita lihat sebagai satu contoh kemungkinan ini. Contoh lainnya yang beragam bentuknya telah kita lihat, yaitu pada periode-periode selanjutnya, dan masih kita saksikan.

Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah seperti sebilah pedang tajam di tangan pemabuk yang kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri, yang digunakan untuk membantu si pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya sama sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tak beriman dewasa ini yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak berilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya antara Churchill, Johnson, Nixon dan Stalin dewasa ini dengan Fir’aun, Jenghis Khan dan Attila pada zaman dahulu?

Dapatlah dikatakan bahwa karena ilmu pengetahuan adalah cahaya dan juga kekuatan, maka penerapannya pada dunia mate­rial ini tidaklah khusus. Ilmu pengetahuan mencerahkan dunia spiritual kita juga, dan konsekuensinya memberikan kekuatan bagi kita untuk mengubah dunia spiritual kita. Karena itu, ilmu pengetahuan dapat membentuk dunia dan manusia juga. Ilmu pengetahuan dapat menunaikan tugasnya sendiri, yaitu mem­bentuk dunia dan juga tugas agama, yaitu membentuk manusia. Jawabannya adalah bahwa semua ini memang benar, namun masalah pokoknya adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah alat yang penggunaannya tergantung kepada kehendak manusia. Apa saja yang dilakukan oleh manusia, dengan bantuan ilmu pengetahuan dia dapat melakukannya dengan lebih baik. Itulah sebabnya kami katakan bahwa ilmu pengetahuan membantu kita mencapai tujuan dan melintasi jalan yang kita pilih”.

Hak cipta © pada Sulaiman Djaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar