Bertrand Russell dan
Murtadha Mutahhari, meski saling bertolak-belakang satu sama lain dalam hal
kepercayaan, paradigma, dan lanskap epistemologis intelektual mereka, sama-sama
memiliki konsen yang intens dalam masalah interaksi, hubungan, dan dialektika
agama dan ilmu (pengetahuan sekuler). Tak terkecuali menyangkut isu-isu atau
materi-materi bahasan pelik seputar teisme adan ateisme – di mana dalam masalah
ini, mereka akan terlihat nyata dan jelas saling bertolak belakang dan
bertentangan satu sama lain.
Russell, di satu sisi,
adalah seorang filsuf dan pemikir bebas yang mendaku diri sebagai seorang agnostik
(menunda keputusan apakah Tuhan ada atau tidak ada) –yang kadangkala pendapat
dan kritik-kritiknya terhadap agama acapkali tidak jauh berbeda dengan kritik
yang dilancarkan kaum ateis terhadap agama. Sedangkan Muthahhari, di sisi
lainnya, adalah seorang faqih, ‘ulama, sekaligus filsuf yang menjadikan Islam
(Syi’ah)-nya sebagai basis dan dasar bagi tulisan-tulisan dan
pemikiran-pemikiran intelektualnya, sembari dengan gigih senantiasa berusaha
membuktikan bahwa Islam adalah dasar dan khazanah intelektual dan pemikiran itu
sendiri, yang dengan demikian, baginya tak ada pertentangan antara Islam dan
intelektualisme atau antara Islam dan pengetahuan:
“Ilmu pengetahuan
memberikan kepada kita cahaya dan kekuatan. Agama memberi kita cinta, harapan
dan kehangatan. Ilmu pengetahuan membantu menciptakan peralatan dan
mempercepat laju kemajuan. Agama menetapkan maksud upaya manusia dan sekaligus
mengarahkan upaya tersebut. Ilmu pengetahuan membawa revolusi lahiriah
(material). Agama membawa revolusi batiniah (spiritual). Ilmu pengetahuan
menjadikan dunia ini dunia manusia. Agama menjadikan kehidupan sebagai
kehidupan manusia”.
Sebaliknya, Russell yang
lebih menjadikan sains dan empirisisme-nya sebagai dasar paradigma intelektualnya,
tak segan-segan bersikap enteng dan tanpa beban ketika “mengkritisi” dogma religius,
sebagaimana diakui sendiri dalam otobiografinya: “Ketika saya menemukan dalam
Autobiography Mill kalimat ‘ayah saya mengajari saya bahwa pertanyaan siapa
yang menciptakan saya?’ tidak bisa dijawab karena pertanyaan itu segera
memunculkan pertanyaan berikutnya ‘siapa yang menciptakan Tuhan’?” –di mana
bagi kaum agamawan, retorika Mill yang kembali diungkapkan Russell tersebut
juga ‘rancu’ karena mengandaikan “Sang Pencipta” ada “yang menciptakan”, yang
secara logika tak dapat diterima.
Kita tahu, berbeda dengan
Muthahhari yang memahami khazanah Islam (Syi’ah-nya) sebagai mata air dan
khazanah ilmu dan hikmah intelektual dan tulisan-tulisannya, Russell (yang
dengan basis pengetahuan dan tradisi Kristianisme) lingkungan dan keluarganya,
seringkali lantang menyatakan bahwa dalam sejarah ummat manusia, utamanya
sejarah Eropa dan Barat, acapkali agama “menghalangi” jalan kemajuan sains dan
ilmu pengetahuan: “Konflik antara sains dan agama, yang mulai meruncing pada
abad 16, dalam berbagai bentuknya, berlanjut sampai jaman kita saat ini.”
Namun, berbeda dengan
Russell, Muthahhari, ketika melihat hubungan, interaksi, atau dialektika antara
agama (Islam) dan sains ini, memandangnya dengan paradigma harmonis dan saling
melengkapi, bukan saling bertentangan sebagaimana Russell memandangnya: “Hubungan
antara ilmu pengetahuan dan agama dapat dibahas dari dua sudut pandang. Sudut
pandang yang pertama adalah kita lihat apakah ada sebuah agama yang konsepsinya
melahirkan keimanan dan sekaligus rasional, atau semua gagasan yang ilmiah itu
bertentangan dengan agama, tidak memberikan harapan dan tidak melahirkan
optimisme.
Sudut pandang kedua yang menjadi landasan dalam membahas hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan adalah pertanyaan tentang bagaimana keduanya ini berpengaruh pada manusia. Apakah ilmu pengetahuan membawa kita ke satu hal, dan agama membawa kita kepada sesuatu yang bertentangan dengan satu hal itu? Apakah ilmu pengetahuan mau membentuk (karakter) kita dengan satu cara dan agama dengan cara lain? Atau apakah agama dan ilmu pengetahuan saling mengisi, ikut berperan dalam menciptakan keharmonisan kita semua? Baiklah, kita lihat sumbangan ilmu pengetahuan untuk kita dan sumbangan agama untuk kita….
Sudut pandang kedua yang menjadi landasan dalam membahas hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan adalah pertanyaan tentang bagaimana keduanya ini berpengaruh pada manusia. Apakah ilmu pengetahuan membawa kita ke satu hal, dan agama membawa kita kepada sesuatu yang bertentangan dengan satu hal itu? Apakah ilmu pengetahuan mau membentuk (karakter) kita dengan satu cara dan agama dengan cara lain? Atau apakah agama dan ilmu pengetahuan saling mengisi, ikut berperan dalam menciptakan keharmonisan kita semua? Baiklah, kita lihat sumbangan ilmu pengetahuan untuk kita dan sumbangan agama untuk kita….
Ilmu pengetahuan dan agama
sama-sama memberikan kekuatan kepada manusia. Namun, kekuatan yang diberikan
oleh agama adalah berkesinambungan, sedangkan kekuatan yang diberikan oleh ilmu
pengetahuan terputus-putus. Ilmu pengetahuan itu indah, begitu pula agama. Ilmu
pengetahuan memperindah akal dan pikiran. Agama memperindah jiwa dan perasaan. Ilmu
pengetahuan dan agama sama-sama membuat manusia merasa nyaman. Ilmu pengetahuan
melindungi manusia terhadap penyakit, banjir, gempa bumi dan badai. Agama
melindungi manusia terhadap keresahan, kesepian, rasa tidak aman dan pikiran
picik. Ilmu pengetahuan mengharmoniskan dunia dengan manusia, agama
menyelaraskan manusia dengan dirinya….
Pengalaman sejarah
menunjukkan bahwa akibat dari memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama,
telah terjadi kerugian yang tak dapat ditutup. Agama harus dipahami dengan memperhatikan
ilmu pengetahuan, sehingga tidak terjadi pembauran agama dengan mitos. Agama
tanpa ilmu pengetahuan berakhir dengan kemandekan dan prasangka buta, dan tak
dapat mencapai tujuan. Kalau tak ada ilmu pengetahuan, agama menjadi alat bagi
orang-orang pandai yang munafik. Kasus kaum Khawarij pada zamah awal Islam
dapat kita lihat sebagai satu contoh kemungkinan ini. Contoh lainnya yang
beragam bentuknya telah kita lihat, yaitu pada periode-periode selanjutnya, dan
masih kita saksikan.
Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah seperti sebilah pedang tajam di tangan pemabuk yang kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri, yang digunakan untuk membantu si pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya sama sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tak beriman dewasa ini yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak berilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya antara Churchill, Johnson, Nixon dan Stalin dewasa ini dengan Fir’aun, Jenghis Khan dan Attila pada zaman dahulu?
Dapatlah dikatakan bahwa karena ilmu pengetahuan adalah cahaya dan juga kekuatan, maka penerapannya pada dunia material ini tidaklah khusus. Ilmu pengetahuan mencerahkan dunia spiritual kita juga, dan konsekuensinya memberikan kekuatan bagi kita untuk mengubah dunia spiritual kita. Karena itu, ilmu pengetahuan dapat membentuk dunia dan manusia juga. Ilmu pengetahuan dapat menunaikan tugasnya sendiri, yaitu membentuk dunia dan juga tugas agama, yaitu membentuk manusia. Jawabannya adalah bahwa semua ini memang benar, namun masalah pokoknya adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah alat yang penggunaannya tergantung kepada kehendak manusia. Apa saja yang dilakukan oleh manusia, dengan bantuan ilmu pengetahuan dia dapat melakukannya dengan lebih baik. Itulah sebabnya kami katakan bahwa ilmu pengetahuan membantu kita mencapai tujuan dan melintasi jalan yang kita pilih”.
Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah seperti sebilah pedang tajam di tangan pemabuk yang kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri, yang digunakan untuk membantu si pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya sama sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tak beriman dewasa ini yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak berilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya antara Churchill, Johnson, Nixon dan Stalin dewasa ini dengan Fir’aun, Jenghis Khan dan Attila pada zaman dahulu?
Dapatlah dikatakan bahwa karena ilmu pengetahuan adalah cahaya dan juga kekuatan, maka penerapannya pada dunia material ini tidaklah khusus. Ilmu pengetahuan mencerahkan dunia spiritual kita juga, dan konsekuensinya memberikan kekuatan bagi kita untuk mengubah dunia spiritual kita. Karena itu, ilmu pengetahuan dapat membentuk dunia dan manusia juga. Ilmu pengetahuan dapat menunaikan tugasnya sendiri, yaitu membentuk dunia dan juga tugas agama, yaitu membentuk manusia. Jawabannya adalah bahwa semua ini memang benar, namun masalah pokoknya adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah alat yang penggunaannya tergantung kepada kehendak manusia. Apa saja yang dilakukan oleh manusia, dengan bantuan ilmu pengetahuan dia dapat melakukannya dengan lebih baik. Itulah sebabnya kami katakan bahwa ilmu pengetahuan membantu kita mencapai tujuan dan melintasi jalan yang kita pilih”.
Hak cipta © pada Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar