Puisi Sulaiman Djaya
Setiapkali aku datang,
kutanggalkan sepatu di depanmu,
lalu tanganku menjabatmu:
akrab sekaligus asing,
seakan aku memang seorang tamu
di hadapan apa saja
yang tak terusik oleh tajamnya
tatapan sang maut.
kutanggalkan sepatu di depanmu,
lalu tanganku menjabatmu:
akrab sekaligus asing,
seakan aku memang seorang tamu
di hadapan apa saja
yang tak terusik oleh tajamnya
tatapan sang maut.
Di suatu waktu, kausambut
aku
dengan penuh kecup,
namun kau usir aku tanpa ragu
di kali lain. Sejak itu aku paham,
atas restu atau murkamu
nasib dan puisi dengan ikhlas
senantiasa hilir-mudik.
dengan penuh kecup,
namun kau usir aku tanpa ragu
di kali lain. Sejak itu aku paham,
atas restu atau murkamu
nasib dan puisi dengan ikhlas
senantiasa hilir-mudik.
Tetapi aku tak mengerti,
kenapa hujan dan gerimis
serasa berada jauh di musim yang lari.
Bahkan waktu dengan ubannya yang kemerahan
lebih mirip kalimat-kalimat sajak
yang berserakan.
kenapa hujan dan gerimis
serasa berada jauh di musim yang lari.
Bahkan waktu dengan ubannya yang kemerahan
lebih mirip kalimat-kalimat sajak
yang berserakan.
Setiapkali aku pergi,
kau selalu melepas bajuku
hingga aku tak ubahnya si petualang telanjang
yang senantiasa rindu pulang.
Kembali berjabat tangan
dan meminta maaf kepada mereka
yang menangis sendirian.
kau selalu melepas bajuku
hingga aku tak ubahnya si petualang telanjang
yang senantiasa rindu pulang.
Kembali berjabat tangan
dan meminta maaf kepada mereka
yang menangis sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar