Oleh Sulaiman Djaya (esais dan penyair)
Sejak
revolusi industri dan berlanjut dengan merebaknya budaya konsumsi serta
produksi barang-barang kemasan yang telah menghasilkan residu (sampah) yang
sangat besar, dunia (Bumi) tempat kita tinggal menjadi sangat jauh berbeda dan
berubah. Perubahan lingkungan dan peningkatan residu (sampah) secara drastis di
jaman kita saat ini, membuat dunia tempat kita tinggal menjadi sangat
mengkhawatirkan. Seperti yang telah kita ketahui, dunia mulai mengalami dampak
buruk dari perubahan iklim global (akibat global warming).
Kondisi cuaca ekstrim
di sejumlah wilayah mulai menyadarkan banyak orang dan sejumlah pihak
(kalangan) untuk lebih peduli dan memperhatikan lingkungan tempat mereka
berada.
Kita tahu juga, gas
karbondioksida merupakan bagian terbesar dari gas rumah kaca (green house
gasses) yang menjadi penyebab utama perubahan iklim global di era kita sekarang
ini. Gas CO2 ini dihasilkan dari pembakaran fosil, seperti minyak, gas bumi,
dan batu bara.
Salah-satu cara untuk
membantu mengurangi perubahan (kerusakan iklim) adalah dengan mengurangi
pemakaian bahan bakar fosil tersebut.
Cara lainnya adalah
menggalakan aksi dan tindakan menanam. Sebab, sudah menjadi hukum alam,
tumbuh-tumbuhan dan pepohonan yang menyerap gas CO2 dalam proses fotosintesis,
berfungsi sebagai paru-paru dunia.
Salah-satu wujud
menanam itu adalah menanam dengan menggunakan media-media barang-barang bekas
(sampah) yang terbengkalai dan tak lagi digunakan. Sehingga ada dua manfaat
ganda, mengurangi penyampahan sekaligus membantu menyehatkan lingkungan kita,
selain jika tanaman yang kita tanam adalah tanaman untuk konsumsi, maka kita
pun dapat memenuhi kebutuhan pangan kita.
Urgensi Kesadaran Ekologis
Terkait dengan isu ekologi
ini, saya ingin memberi sebuah ilustrasi yang tak jauh dari lingkungan saya sendiri. Ketika dua
cerobong asap raksasa sebuah pabrik kertas (yang kebetulan tak jauh dari rumah
saya) hadir dan berdiri dengan begitu “angkuhnya” sembari mengeluarkan asapnya
sejak tahun 90-an, bersamaan itu pula saya merasa ada yang “keliru”, meski saat
itu saya belum mengenal isu-isu ekologi. Saya memandang asap yang keluar dari
dua cerobong asap pabrik kertas tersebut sebagai “kotoran” yang mencemari
kemurnian udara, udara yang dengannya kita bernafas setiap hari, yang dengan
demikian, udara adalah bagian dari kita sendiri yang paling akrab, yang
dengannya dan bersamanya kita hidup.
Ketika udara itu tercemari
dan terkotori, maka tercemari dan terkotori pula diri kita, sebab kehidupan
kita sendiri tak terpisahkan dari dan dengan alam dan lingkungan. Kita adalah
bagian dari alam dan lingkungan. Singkatnya, kita hidup dengan dan bersama
alam, dan ketika kita bertindak dan berperilaku zhalim terhadap alam dan
lingkungan, maka pada saat itu pula kita telah bertindak zhalim terhadap diri
kita sendiri. Itu karena kita adalah bagian dan mata-rantai ekosistem, alam,
dan lingkungan (yang adalah juga kita bagian dari jagat-raya), dan karena itu
prilaku dan tindakan kita di mana kita hidup dengan dan bersama alam dan
lingkungan, akan sangat berpengaruh kepada alam dan lingkungan di mana kita
hidup dengan dan bersama mereka setiap hari.
Kita pun sadar, dalam
konteks saat ini, lahirnya industrialisasi yang disusul kemudian dengan
merebaknya budaya konsumsi dalam masyarakat mutakhir kita di era saat ini,
telah menghadirkan disharmoni dan ancaman bagi kesehatan alam dan lingkungan,
akibat residu (sampah dan limbah) yang besar-besaran misalnya, dan juga emisi
serta polusi di udara kita, yang pada akhirnya akan berdampak pada kesehatan
dan kualitas hidup kita sendiri. Itulah kenapa kesadaran ekologis pada segala
tingkatan, baik lokal maupun global, adalah mendesak.
Dalam skala global,
contohnya, Konferensi Perubahan Iklim ke-20 diselenggarakan pada 1-12 Desember
2014 lalu di Lima, Peru, yang merupakan kelanjutan Protokol Kyoto ke-10.
Konferensi tersebut membahas komitmen negara-negara yang tergabung dalam
Protokol Kyoto dalam kaitannya terhadap penurunan emisi gas rumah kaca yang
sehubungan dengan proses adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Jauh
sebelumnya, jargon “Think Globally, Act Locally”, yang menjadi tema KTT Bumi di
Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992 silam, segera menjadi jargon populer untuk
mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan. Topik yang diangkat
dalam konferensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan
ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan air, meluasnya
penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya
serta penipisan keanekaragaman hayati.
Kita tahu bersama, isu
lingkungan hidup semakin hari semakin menjadi isu yang sangat penting untuk
ditangani bersama, baik oleh Negara-negara maju maupun Negara-negara berkembang
atau Negara-negara Dunia Ketiga. Singkatnya merupakan keniscayaan bagi Utara
dan Selatan. Kita tahu juga, persoalan lingkungan, meski telah ditempuh beragam
upaya perawatan dan pencegahan dari kerusakan dan pencemaran, tidak semakin
membaik. Penanganan dan perbaikan pun belum sebanding dengan peningkatan
persoalan lingkungan itu sendiri. Kondisi lingkungan dan bumi, sebagaimana
sama-sama kita tahu dan kita rasakan, diperparah dengan terjadinya fenomena
perubahan iklim (climate change).
Kondisi persoalan
lingkungan yang tidak semakin membaik itulah, sebagai contohnya, yang juga
mendasari diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan
Berkelanjutan, yang telah berlangsung pada tanggal 13-22 Juni 2012 di Rio de
Janeiro, Brasil yang lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Bagi Indonesia,
menyepakati dokumen The Future We Want, sebagaimana tercermin dalam KTT Bumi
tersebut, misalnya, menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen itu memuat kesepahaman
pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia.
Isi Dokumen yang
disepakati itu mengenalkan konsep Sustainable Development Goals atau
tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dipenuhi, baik oleh negara
maju maupun negara berkembang, untuk tetap menjaga prinsip-prinsip perlindungan
lingkungan saat meraih kesejahteraan ekonomi atau ‘ekonomi hijau’ (green
economy). KTT Bumi ini, yang juga disebut Rio+20, tersebut menjadi kelanjutan
dari KTT Bumi yang dilakukan di Rio de Janeiro pada 1992 silam. Pada saat itu,
negara-negara yang hadir juga mengeluarkan komitmen perlindungan lingkungan.
Namun, yang disayangkan dari Rio+20 adalah tidak adanya mekanisme evaluasi akan
apa saja hal-hal yang sudah dicapai negara maju dalam pemenuhan janji-janji
tersebut dari 1992 sampai sekarang.
Konservasi Tradisional dan
Kearifan Lokal
Menurut beberapa ahli yang
mengamati hubungan antara masyarakat lokal dengan sumber daya alam –khususnya hutan
di sekitarnya, bahwa “kearifan lokal” identik dengan pengetahuan tradisional.
Kearifan tradisional merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu
masyarakat tertentu yang mencakup pengetahuan yang berkenaan dengan model-model
pengelolaan sumber daya alam secara lestari. Pengetahuan yang dimaksud itu
merupakan citra lingkungan tradisional yang didasarkan pada sistem religi
(kepercayaan dan keagamaan) dan memandang manusia adalah bagian dari alam
lingkungan itu sendiri (kosmik kepercayaan, nilai, dan sistem pengetahuan
masyarakat bersangkutan), dimana, sebagai contohnya, terdapat roh-roh yang
bertugas menjaga keseimbangannya. Oleh karenanya, untuk menghindari bencana
atau malapetaka yang bisa mengancam kehidupannya, manusia (dalam kepercayaan atau
kearifan lokal-tradisional) itu, wajib menjaga hubungan dengan alam semesta,
termasuk dalam pemanfaatannya yang harus bijaksana dan bertanggung jawab.
Praktek konservasi
tradisional tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sistem pengetahuan
masyarakat lokal, sebagaimana telah disebutkan, karena berdasarkan pengetahuan
itulah masyarakat mempraktekkan aspek-aspek konservasi yang khas di daerahnya.
Dengan demikian, konservasi tradisional meliputi semua upaya pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat tradisional, baik secara langsung
maupun tidak langsung –dalam mempraktekkan kaidah-kaidah konservasi berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya alam guna kelestarian pemanfaatannya.
Praktek-praktek tersebut umumnya merupakan warisan dari nenek moyang (karuhun
atau leluhur) mereka, dan bersumber dari pengalaman hidup yang selaras dengan
alam, semisal dalam masyarakat Kanekes (Baduy, Banten), di mana praktek-praktek
pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat tradisional tersebut memperhatikan
prinsip-prinsip kelestarian, yang kemudian oleh kita dikenal dan dinamakan
sebagai kearifan tradisional.
Beberapa contoh dari
bentuk-bentuk kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya hutan
secara lestari antara lain: [1] Kepercayaan dan/atau pantangan, misalnya (a)
manusia berkaitan erat dengan unsur (tumbuhan, binatang dan faktor non-hayati
lainnya) dalam proses alam, sehingga harus memelihara keseimbangan lingkungan,
(b) pantangan untuk menebang pohon buah atau pohon penghasil madu yang masih
produktif, binatang yang sedang bunting (hamil atau mengandung), atau memotong
rotan terlalu rendah. [2] Etika dan aturan, yang contohnya (a) menebang pohon
hanya sesuai dengan kebutuhan dan wajib melakukan penanaman kembali, (b) tidak
boleh menangkap ikan dengan meracuni (tuba) dan/atau menggunakan bom, (c)
mengutamakan berburu binatang-binatang yang menjadi hama ladang.
Selanjutnya, teknik dan
teknologi, yang contohnya (a) membuat sekat bakar dan memperhatikan arah angin
pada saat berladang agar api tidak menjalar dan/atau menghanguskan kebun atau
tanaman pertanian lainnya, (b) menentukan kesuburan tanah dengan menancapkan
bambu atau parang (untuk melihat kekeringan tanah), warna tanah, diameter pohon
dan warna tumbuhannya. (c) membuat berbagai perlengkapan/alat rumah tangga,
pertanian, berburu binatang dari bagian-bagian kayu/bambu/rotan/getah/zat
warna, dan lain-lain. Praktek dan tradisi pengelolaan hutan atau lahan, yang
contohnya (a) menetapkan sebagian areal hutan sebagai hutan lindung untuk
kepentingan bersama, (b) melakukan koleksi berbagai jenis tanaman hutan
berharga pada lahan-lahan perladangan dan pemukiman, (c) mengembangkan dan/atau
membudidayakan jenis tanaman atau hasil hutan yang berharga.
Bagi kita saat ini,
mempelajari kearifan lokal, tentu saja, tidak berarti mengajak kita kembali
pada periode zaman batu. Akan tetapi hal itu justru penting tidak saja dalam
memahami bagaimana masyarakat lokal memperlakukan sumber daya alam di
sekitarnya juga memanfaatkan berbagai hal positif yang terkandung di dalamnya
bagi kepentingan generasi mendatang.
Konservasi tradisional
merupakan aturan-aturan yang berjalan dan berlaku di dalam masyarakat pedesaan
secara tradisional mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungannya untuk tetap menjaga keberlanjutan nilai kualitas lingkungan dan
sumber daya alam. Pada masyarakat tradisional (pedesaan atau masyarakat adat)
biasanya terdapat aturan-aturan tertentu yang dapat mencegah dan melindungi
penggunaan sumber daya alam yang tak beraturan, atau melakukan eksploitasi yang
mubazir dan membahayakan masa depan lingkungan sekitar kita tempat kita hidup
dan hidup anak cucu kita sendiri kelak. Singkatnya, masyarakat tradisional kita
sendiri telah menyadari kebutuhan “mendesak” kesadaran ekologis, dan merasa
diri sebagai bagian dari semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar