Pada kodratnya atau secara alamiah
(natural),
setiap manusia memiliki naluri untuk memproteksi kelangsungan kehidupannya.
Dalam rangka naluri untuk kelangsungan hidupnya itu, setiap manusia memiliki
kebutuhan, secara bertingkat (primer-sekunder-tersier) maupun bervariasi.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya itu, manusia menempuh
berbagai cara. Seiring waktu, cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut
berkembang menjadi sebuah ilmu tersendiri, yang
dapat dipelajari, dikembangkan dan diajarkan,
yang kemudian sebagaimana kita tahu bersama, ilmu itu dinamakan ekonomi.
Dengan demikian pada dasarnya, ekonomi terkait langsung dengan naluri untuk
bertahan dan mengembangkan kehidupan manusia.
ILMU EKONOMI & EKONOMI POLITIK
Sebagaimana yang sudah sangat populer diketahui, istilah ‘ekonomi’ berasal
dari bahasa Yunani, yaitu ‘oikosnomos’ atau oikonomia’ yang artinya
manajemen urusan rumah-tangga’, khususnya penyediaan dan administrasi pendapatan.Terdiri dari dua term kata, yaitu ‘oikos’ dan ‘nomos’. Oikos
berarti keluarga, rumah tangga, nomos artinya peraturan,
aturan dan hukum.[1] Secara
sederhana maksudnya adalah tata cara menyelenggarakan rumah tangga. Ilmu
Ekonomi, secara umum, didefinisikan sebagai hal yang mempelajari perilaku
manusia dalam menggunakan sumber daya yang langka untuk memproduksi barang dan
jasa yang dibutuhkan manusia. Ruang lingkup ekonomi meliputi satu bidang
perilaku manusia terkait dengan konsumsi, produksi, dan distribusi.[2]
Paul A Samuelson, seorang ahli ekonomi terkenal mendefinisikan Ilmu Ekonomi sebagai suatu studi mengenai bagaimana
orang-orang dan masyarakat membuat pilihan, dengan cara atau tanpa
penggunaan uang, dengan menggunakan sumber daya yang terbatas tetapi dapat
digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa
dan mendistribusikannya untuk keperluan konsumsi sekarang dan di masa
mendatang, kepada berbagai orang dan golongan masyarakat.[3] Mengingat luasnya
pengertian ekonomi, tidak ada salahnya memperhatikan pernyataan Tim Harford
berikut ini.
“...saya ekonom. Anda mungkin mengira
pikiran saya ada di tempat lain, merenungkan pasar saham atau angka inflasi.
Kalau begitu Anda salah. Saya memperhatikan para penjudi dan pekerja seks
komersial, pemabuk dan anggota-anggota geng. Saya melihat dari sudut yang
berbeda. Para ekonom selalu mencari logika tersembunyi di balik kehidupan,
bagaimana hal itu dibentuk oleh keputusan-keputusan rasional yang tak terhitung
dan tak terlihat.”[4]
Sebelum ilmu ekonomi berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri seperti
sekarang, dulunya dikenal dengan ilmu ekonomi politik (political economy).
Tulisan-tulisan para sarjana di abad ke-18 hingga ke-19, belum memisahkan
antara ekonomi dan politik. Seiring perkembangan ilmu yang terus-menerus
mengalami spesialisasi dan diferensiasi, maka di kemudian hari ekonomi politik
dipilah menjadi ilmu ekonomi murni di satu sisi, dan ilmu politik di sisi lain.
Hal itu dapat dipahami sebagai akibat dari pengaruh modernisasi yang menuntut
adanya spesialisasi dan diferensiasi di segala bidang.
Adalah Alfred Marshal, pemuka mazhab neo-klasik, yang mengubah disiplin
ekonomi politik menjadi ilmu ekonomi murni dengan bukunya The
Principles of Economics. Alasan dia bahwa ilmu “baru” yang dimaksudkanya
itu sudah berhenti sebagai suatu system of inquiry yang
mempunyai kaitan langsung dengan permasalahan kebijaksanaan ekonomi pada abad
ke-18 dan 19. Tetapi Gunnar Myrdal, seorang sarjana yang menolak teori ekonomi
konvensional dan menganggapnya terlalu teknis, mengembalikan system of
inquiry itu dalam penggunaan dan sejalan dengan itu istilah ekonomi-politik
pun digunakan. Tapi sejak dulu hingga sekarang, istilah (ekonomi politik)
secara konsisten dipakai di kalangan Marxist dan kaum sosialis, juga berbagai
kelompok ilmuwan ekonomi di Eropa Barat dan Eropa Timur.[5]
Sekarang setelah gerak sejarah berbalik menuntut cara pandang yang holistik
dan interdisipliner, ekonomi politik pun kembali populer dan mendapatkan
tempatnya. Perbedaan utama dari pendekatan ekonomi politik dan ilmu ekonomi
murni adalah dalam pandangannya tentang struktur kekuasaan yang ada dalam
masyarakat. Ekonomi politik percaya bahwa struktur kekuasaan akan memengaruhi
pencapaian ekonomi, sebaliknya pendekatan ekonomi murni menganggap struktur
kekuasaan di dalam masyarakat adalahgiven.[6]
Menurut Ahmad Erani Yustika, ada tiga varian penting dalam pendekatan
ekonomi politik. Ketiga varian itu adalah: ekonomi politik klasik/neoklasik (classical/neoclassical
political economy), ekonomi politik Keynesian (Keynesian political
economy), dan ekonomi politik Marxian (Marxian political economy).
Secara singkat dijelaskan, ekonomi politik klasik atau neo klasik adalah
ekonomi politik berbasis pasar atau berdasarkan kapitalisme. Sementara ekonomi
politik Keynesian berinduk pada teori ekonomi John Maynard Keynes yang memperkenankan
intervensi negara jika perekonomian mengalami krisis. Adapun ekonomi politik
Marxian yaitu perekonomian yang didorong sepenuhnya oleh negara.[7]
Ketika gejala ekonomi dijelaskan melalui pendekatan ilmu ekonomi murni
(tradisional), rupanya telah menimbulkan ketidakpuasan karena bagi sebagian
kalangan dianggap tidak menjelaskan masalah secara lengkap. Sebagaimana yang
disebutkan oleh Dawam Rahardjo dalam bukunya Esei-Esei Ekonomi Politik sebagai
berikut:
“Profesor Assar Lindbeck dari Norwegia, ketika berada di Amerika Serikat,
sambil memberi kuliah, telah mengumpulkan pendapat perihal serangan kaum Kiri
baru terhadap ilmu ekonomi tradisional. Ia mengambil kesimpulan tentang kritik
itu sebagai berikut: (a) ilmu ekonomi tradisional dinilai
terlalu mengabaikan masalah distribusi pendapatan, kekayaan dan kekuasaan yang
tidak merata, (b) dalam menganalisa masalah
alokasi sumber-sumber, ekonomi tradisional menganggap selera konsumen sebagai
sesuatu yang sudah ditentukan, padahal, masalah sesungguhnya adalah terdapatnya
dominasi atas selera konsumen oleh penjual besar, (c) ekonomi
ortodoks dianggap mengabaikan secara total masalah mutu hidup yang seharusnya
dibedakan dari kuantitas output (d) sistem sosial-ekonomi
dianggap sebagaimana adanya oleh ekonomi ortodoks dan mereka dinilai hanya
berkepentingan dengan perubahan-perubahan marginal, padahal yang seharusnya
menjadi kepentingan adalah perubahan-perubahan besar dari seluruh sistem itu
sendiri, dan (e) kaum ortodoks dianggap mengabaikan
pertimbangan-pertimbangan politik,--padahal seharusnya hal yang dipersoalkan
tidak semata-mata bersifat ekonomi, melainkan bersifat ekonomi politik.[8]
Salah seorang kritikus terhadap ekonomi konvensional, Gunnar Myrdal,
menolak teori-teori ekonomi konvensional karena mengabaikan hal-hal yang
fundamental dan cenderung ke arah teknis sehingga seolah-olah menjadi bebas
nilai untuk tujuan mencapai apa yang disebut objektivitas. Bagi Myrdal, teori
ekonomi mustahil netral, yaitu secara positif objektif. Ilmu ekonomi,
sebagaimana halnya karya John Stuart Mill, pada dasarnya juga merupakan ilmu
pengetahuan dengan nilai dan moral tertentu. Bahkan kaum neo-klasik sendiri mempunyai dasar filsafat, yaitu filsafat
moral utilitarian. Namun, para ekonom
modern menyembunyikan dan melupakan dasar-dasarnya yang sekarang sudah menjadi
filsafat moral yang beku. Dan karena itu mereka menyajikan sesuatu yang
nampaknya seperti teori ekonomi yang bebas-nilai.[9]
Perbedaan “mazhab” dalam menempatkan ilmu ekonomi, bersifat netral atau
tidak, memiliki argumen dan signifikansinya masing-masing. Karena itu, menurut
Lindbeck masalahnya yang paling esensial adalah mencari jawaban alternatifnya.
Dalam hal ini, ekonomi politik berjasa menyajikan pembahasan mengenai: (a) apakah
sistem ekonomi harus diorganisasikan melalui pasar, melalui birokrasi politik
atau bagaimana, (b) apakah sistem itu harus disentralisasikan
atau didesentralisasikan dalam proses pengambilan keputusan, (c) siapa
yang seharusnya memiliki modal (d) apakah cara kompetisi
ataukah cara koperasi yang dipilih dalam melaksanakan aktivitas ekonomi, dan (e) apakah hakekat makna pembangunan, sampai seberapa
itu dikehandaki? Kelima hal di atas merupakan isu utama dalam ekonomi politik
sebagai ilmu untuk memenuhi kebutuhan manusia di tengah sumber daya yang
terbatas.[10]
EKONOMI POLITIK SEBAGAI ANALISIS SOSIAL
Dalam perkembangannya, ekonomi politik ternyata tidak saja digunakan dalam
konteks ilmu (ekonomi) sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tetapi juga
dipergunakan sebagai alat analisis terhadap gejala sosial. Ekonomi politik
sebagai suatu pendekatan analisis terhadap masyarakat dan bangsa muncul pada
tahun 1970-an. Hal ini dilatari oleh reaksi atas ketidakpuasan terhadap teori
modernisasi yang dipandang tidak memadai menjelaskan perubahan di dalam
masyarakat negara-negara baru.
Sebagaimana diketahui, para ilmuwan sosial dan politik Barat, kerap
mempergunakan dan menyodorkan analisis modernisasi untuk mendekati
masyarakat-masyarakat di negara-negara yang baru merdeka (dunia ketiga). Tentu
saja banyak hal dari teori modernisasi tidak dapat menjelaskan secara utuh
masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara baru tersebut yang baru saja
mengalami kolonialisasi dan pada akhirnya mengakibatkan teori modernisasi kehilangan relevansi dengan
kebutuhan perubahan secara mendasar yang diharapkan oleh negara-negara baru
tersebut. Kenyataannya teori modernisasi menggiring negara-negara baru tersebut
ke dalam ketergantungan orientasi kepada model masyarakat Barat yang sebelumnya
merupakan penjajah mereka. Di sinilah munculnya kritik terhadap model
modernisasi yang datang dari sarjana-sarjana ekonomi politik.
Salah seorang dari mereka, Peter Gran, sebagaimana dalam tulisannya, Ekonomi
Politik Sebagai Paradigma dalam Kajian Sejarah Islam, yang menyatakan:
“...secara sederhana, teori
modernisasi menyatakan bahwa kebanyakan masyarakat di dunia atau di beberapa
wilayah (tertentu), yang disebut negara-negara baru, tidak memiliki dinamika
internal yang mampu menghasilkan perubahan berarti. Perubahan penting menuju
modern memerlukan “kedatangan Barat”. Modernisasi terjadi melalui antraksi yang
menguntungkan antara para anggota kelompok elit setempat yang sedang berkuasa
dan berpikiran baru dan Barat.”[11]
Teori modernisasi membuat premis yang menyatakan bahwa perubahan historis
yang berarti hanya terjadi di negara yang sudah mapan sebagai akibat dari
serangkaian kegiatan kelompok kecil yang disebut kelompok elit. Adapun rujukan
dari negara-negara mapan tersebut, yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Prancis.
Seandainya kelompok elit yang kecil tersebut dianggap sebagai kelompok yang
menyebabkan timbulnya (modernisasi itu), bagaimanakah kita menjelaskan Revolusi
Prancis, Perang Saudara di AS, atau kelahiran Partai Buruh di Inggris? Inilah
yang menyebabkan para sarjana ekonomi politik tidak menerima teori modernisasi
dan mendudukkannya sebagai teori elit. Karena itu, mereka berpaling kepada
kelas sosial sebagai alat analisis historik. Analisis kelas dipandang lebih
komplit dalam membedah suatu gejala dan realitas. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Peter Gran berikut:
“Kelas dirumuskan sebagai sesuatu
yang sejalan dengan pembentukan sosial. Dengan cara ini, melalaui model konflik
realitas, teori ekonomi politik mampu melukiskan berbagai kegiatan seluruh
masyarakat sebagai sesuatu yang bermakna, dan tidak perlu membatasi dirinya
sendiri dengan peristiwa-peristiwa politik yang tampil ke permukaan maupun
biografi kelompok elit, (serta) melepaskan diri dan anggota-anggota masyarakat
lainnya.”[12]
Para sarjana ekonomi politik menganggap teori modernisasi membatasi dan
menyempitkan sejarah. Sejarah dipandang sebagai kisah elit-elit tertentu saja,
dan sudah pasti hal itu tidak tepat. Teori modernisasi tidak berhasil
mengungkap berbagai dinamika penting atau menjelaskan perubahan. Peter Gran
lebih lanjut menyatakan:
“Teori modernisasi tidak memiliki
teori perubahan yang dapat diperbandingkan dengan perjuangan kelas dalam
ekonomi politik. Sebagai pengganti teori perubahan ia memiliki teori pemindahan
(theory of displacement) di
mana sesuatu yang asli atau “tradisional” memberi jalan bagi masuknya yang
“modern”. Teori pemindahan ini didasarkan atas gagasan perubahan sebagai
pengambilalihan teknologi, yang superioritasnya secara menyeluruh menjelaskan
mengapa para pendukung teori modernisasi merasa bahwa mereka tidak perlu
berbicara tentang perjuangan, atau bahkan proses.”[13]
Oleh karena itu, kalangan sarjana ekonomi politik menyatakan dengan tegas
bahwa teori modernisasi bias kepentingan kolonialisme Barat, secara implisit
mengandung tekanan politik: bila untuk menjadi modern, Anda harus
mengikuti langkah Barat dan hanya menirunya, berarti Barat akan jadi dokter
Anda dan Anda menjadi pasiennya. Faktanya, menurut para intelektual ekonomi
politik, satu-satunya pertumbuhan dan kemajuan yang dicapai dunia Barat terjadi
melalui upaya pemiskinan dan penghancuran dunia yang belum maju (dunia ketiga).
Pada dasarnya, lapangan kajian ekonomi politik modern dipusatkan untuk
memenuhi amanat sejarah tradisional untuk mengkaji perubahan sepanjang zaman
melalui penggambaran masa lampau sebagai sesuatu yang terbentuk oleh sejumlah
formasi sosial. Setiap formasi sosial dikaji dalam pengertian konflik-konflik
sosial fundamentalnya masing-masing, yaitu konflik-konflik yang begitu terasa
sehingga akhirnya memecah-belah masyarakat itu.
Dalam tradisi ekonomi politik proses sejarah dikaji dengan meruntut
perkembangan konflik-konflik atau kontradiksi-kontradiksi ini karena
konflik-konflik ini sendiri berfungsi menuju ketertiban sosial itu kembali.
Ekonomi politik sebagai suatu pendekatan memiliki lebih banyak perhatian
terhadap materialisme dibandingkan dengan marxisme klasik, namun ia dalam
banyak hal berubah menjadi kritikus yang sangat tajam terhadap apa yang dikenal
sebagai partai-partai atau gerakan-gerakan komunis dan sosialis, baik di masa
lampau maupun di masa kini. Analisis ekonomi politik terhadap kapitalisme
menggunakan beberapa konsep seperti pasar dunia, perdagangan, kapitalisme inti
dan kapitalisme pinggiran. Konsep-konsep ini cenderung keluar dari model
analisis marxis yang dominan, yakni bangsa, dan cara produksi bangsa itu.
Dalam kerangka ekonomi politik terdapat, sekurang-kurangnya dua bentuk
teori pasar dunia.
(1) Yang
lebih kuno dan lebih terkenal, yang disebut aliran dependensi (dependency
school) ada kaitannya dengan tulisan-tulisan Andre Gundar Frank dan
sejumlah penulis lain di Amerika Latin; ia menekankan pada perkembangan dunia
modern, dengan mempostulasikan hubungan antara pertumbuhan kekayaan di
negara-negara industri di Barat dan perkembangan kemiskinan dari
wilayah-wilayah pinggiran yang menghasilkan bahan-bahan mentah di pasar dunia
itu.
(2) Tulisan-tulisan
Samir Amin yang berpengaruh di seluruh dunia pada sekitar tahun 1970-an.
Sumbangan utama Samir Amin adalah upayanya
untuk mematahkan pandangan sejarah yang terpusat pada Barat dan dalam waktu
lama mendominasi semua disiplin ilmu. Dengan
mempergunakan istilah-istilah wilayah inti (wilayah industri) dan wilayah
pinggiran (wilayah-wilayah penghasil bahan-bahan baku) Samir Amin bermaksud menjelaskan bahwa gagasan dominasi dan
subordinasi tersebut tidak direproduksi sebab interdependensi unsur-unsur
tersebut secara simultan tertangkap dalam berbagai dinamika lokalnya sendiri.
Gagasan-gagasan ini diungkapkannya dalam tulisan-tulisannya, Accumulation on a World Scale dan Unequal
Development. Misalnya, meskipun Frank
memiliki pandangan untuk melihat Amerika Latin sebagai bagian dari pasar dunia
sejak abad ke-16 dan karena itu tidak dapat dianggap sebagai bagian dari
ekonomi feodal melainkan sebagai bagian dari ekonomi kapitalis dunia modern, Samir Amin lebih jauh menunjukkan, berdasarkan penyeleksian
bukti yang jauh lebih luas, bahwa wilayah-wilayah seperti Amerika Latin itu
tidak sekedar merupakan bagian yang tergantung pada dasar dunia yang lebih
luas, mengingat kawasan ini memiliki ciri umumnya sendiri, yakni fase-fasenya
yang dapat diramalkan, (atau) dengan perkataan lain, sejarah, yang sebelum itu
tidak terdeteksi. Demikianlah ekonomi politik dapat pula membedah secara tajam
gejala-gejala yang tidak saja bersifat ekonomi, tapi juga sosial pada berbagai
kawasan, terutama akibat imperialisme.
EKONOMI POLITIK SEBAGAI SUATU SISTEM
Selain bermakna suatu pendekatan seperti hal di atas, pengertian ekonomi
politik dapat juga dalam konteks sistem. Sebelum kita uraikan apakah yang
dimaksud ekonomi politik sebagai suatu sistem, kiranya lebih dahulu dijelaskan
apa yang dimaksud dengan sistem itu sendiri.
Secara ringkas yang dimaksud dengan sistem adalah serangkaian unit dari
suatu lembaga yang bersifat saling terkait dan terpadu dalam rangka mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dengan suatu asas tertentu. Dengan demikian, ekonomi politik sebagai suatu sistem
mengandung arti adanya tatanan ekonomi politik yang dibangun di atas asas yang
khas dengan unit-unit yang saling terhubung dan terpadu sebagai suatu cara
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena itu, identifikasi perbedaan
terhadap suatu ekonomi politik dapat dikenali dari sistem yang dibangun, mulai
dari cara dan mekanismenya, asas dan tujuannya.
Berdasarkan
hal itu, maka secara mudah dapat dikenali jenis-jenis ekonomi politik melalui
identifikasi tujuan, cara dan asasnya: apakah ekonomi politik tersebut bersifat
kapitalis atau sosialis. Demikian pun dapat pula diidentifikasi apa yang
dimaksud dengan ekonomi politik Islam.
CATATAN:
[1] Komaruddin Sastradipoera, Uang: Di
Negara Berkembang, Jakarta: Penerbit Bumi Asara, 1991, h, 4
[2] Lihat buku yang ditulis oleh Pusat Pengkajian
dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta-BI, berjudul, Ekonomi
Islam, jakarta, Rajagrafindo Persada, 2008, h, 14
[3] Paul A. Samuelson, dan Nordhaus, William, D. Ekonomi,
Jilid 1, Jakarta, Erlangga1990, h, 5
[4] Tim Harford, Logika Hidup, Logika Ekonomi di
Balik Seks, Kejahatan, Rasisme, dan Politik Kantor, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2011, cet. 1, hlm x.
[5] M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik,
Jakarta: LP3ES, 1988, Cet.3, hlm 36.