Oleh
Sulaiman Djaya (Sumber: Radar Banten, 19 Desember 2015)
Sebelum
meninggal, almarhum KH Abdurrahman Wahid, atau yang biasanya dipanggil Gus Dur,
pernah mengatakan bahwa “kita butuh Islam yang ramah, bukan Islam yang marah”.
Apa yang pernah dikatakan Gus Dur itu mengingatkan penulis kepada Ostad Elahi
yang mengatakan (sebagaimana yang ia uangkapkan dalam catatan-catatan
otobiografisnya): “Manusia sempurna adalah seseorang yang memperlakukan orang
lain sebagaimana ia ingin diperlakukan, dan juga membela orang lain dari apa
pun yang ia sendiri tidak suka”.
Belakangan
ini ada kalangan yang merasa ‘memiliki surga’ secara eksclusif hanya milik
kelompok mereka sendiri dan mereka tak sungkan-sungkan menyatakan bahwa
orang-orang beragama di luar kelompok mereka adalah ‘kafir’ dan sesat. Suatu
gejala dan wabah yang melanda mereka yang akal dan pemahamannya terkunci rapat
dari realitas.
Ostad
Elahi, sang guru spiritual dari Teheran, itu menyebut hal demikian sebagai
kemiskinan perspektif orang-orang beriman ketika mereka tidak menyadari bahwa
mereka hidup di dunia, bukan hidup di sebuah goa yang hanya ia sendiri yang
menghuninya, persis ketika kaum muslim tidak menggunakan anugerah terbesarnya,
yaitu akal dan nurani. Dalam hal ini, sebagai contoh khazanah yang sangat bagus
dan inspiratif, Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah mengatakan:
“Sebagaimana
manusia menggunakan akal naturalnya ia juga dapat menambah kemampuan akalnya dengan
memanfaatkan akal eksperimentasinya, dan berikut pernyataan Imam Ali (as) lebih
lanjut (sebagaimana dapat kita baca dalam Nahjul Balaghah): “Akal manusia
terbagi dua: pertama akal tabi’i (natural), kedua adalah akal tajribi
(eksperimentasi dan pengalaman), kedua dari pembagian akal manusia ini
memberikan manfaat dan faedah kepada manusia, dan seseorang harus menyakini
bahwa ia memiliki akal dan agama.”
Rupa-rupanya,
salah-satu hal yang dapat kita sebut sebagai kemiskinan perspektif orang-orang
beriman itu adalah ketika kepercayaan keagamaan kita justru malah menghilangkan
kemampuan reflektif kita ketika kita hidup dalam keseharian yang seringkali
begitu deras dengan pencerahan spiritual baru yang justru tidak dapat kita
tangkap ketika kita hidup dalam dogmatisme atau fanatisme buta yang tak
dibarengi dengan anugerah akal dan nurani kita, dogmatisme dan fanatisme buta
yang malah membuat kemampuan reflektif kita sebagai orang beriman menjadi hilang
dan tidak terberdayakan.
Dalam
dilema yang demikian itulah, tasawuf keseharian Ostad Elahi, yang dalam
beberapa hal masih bersumber dari kearifan Ibn Arabi yang masyhur itu, akan
merengkuh ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin keagamaan, yang di satu sisi akan
kita taati secara pribadi, tetapi di sisi lain juga membuat kita tetap selaras
dengan dunia di mana kita hidup di antara sekian banyak keragamaan yang justru
akan semakin membuat kita mampu mengenali diri kita sendiri.
Juga,
tasawuf keseharian Ostad Elahi itu, rupa-rupanya hendak menekankan pentingnya
kesalehan dalam arti sosial di mana kita mesti memperlakukan orang lain
sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan. “Manusia sejati adalah seseorang
yang akan merasa bahagia dengan kebahagiaan orang lain, dan memiliki kepedulian
yang tulus pada penderitaan orang lain,” demikian tulisnya dalam catatan
otobiografisnya. Kita dapat mengkomparasikan apa yang dikatakan Ostad Elahi itu
dengan sebuah kearifan yang lebih tua, dengan sebuah puisi masyhur yang ditulis
seorang penyair Persia yang sudah begitu masyhur, yaitu Sa’adi (yang mana
puisinya ini diabadikan di gedung PBB sebagai simbol perdamaian, solidaritas,
dan welas-asih antar sesama manusia tanpa harus dibatasi ras dan agama):
“Human
beings are members of a whole, in creation of one essence and soul. If one member
is afflicted with pain, other members uneasy will remain. If you have no
empathy for human pain, the name of human you cannot retain”.
Puisi
Sa’adi tersebut bila kita terjemahkan dengan bebas ke Bahasa Indonesia akan
menghasilkan bunyi: “Anak adam satu raga satu jiwa, tercipta dari muasal yang
sama. Jika satu anggota ummat manusia terluka, semua akan merasa terluka.
Engkau yang tak berduka atas luka manusia, tak layak menyandang nama manusia.”
Bila
demikian, kesalehan keagamaan rupa-rupanya sangat erat kaitannya dengan ikhtiar
dan kemampuan reflektif alias penghayatan kita. Yang artinya, kesalehan tidak
semata-mata hanya didasarkan pada fanatisme buta tanpa akal dan nurani, yang
malah membuat kita menjadi bodoh dan jumud, yang nyata-nyatanya lebih mencerminkan
kemalasan alias kelesuan spiritual di saat kesalehan dan kepatuhan tersebut
nyatanya memang didasarkan lebih pada sikap basa-basi, birokratis, dan sekedar
menggugurkan kewajiban semata. Justru sebaliknya, bila kita membaca khasanah
sufisme, kesalehan keagamaan kita niscaya harus digali dari penghayatan dan
perenungan alias refleksi, yang acapkali malah bersifat instrospektif atau
tasamuh yang didasarkan pada sikap rendah hati, semisal sekedar mempertanyakan
pada diri sendiri dan memeriksa penerimaan dan pemahaman kita tentang dan dari
agama yang kita anut dan kita percayai, di saat kita malah tidak bisa harmonis
dengan dunia dan lingkungan di mana kita hidup dan ada.
Ada
sebuah riwayat tentang Nabi Muhammad saw sebagaimana yang dinarasikan Allamah Majlisi
dalam Bihar al Anwar:
Suatu
waktu, terdapat seorang wanita tua yang buruk perangainya. Ia selalu
melemparkan sampah ke arah Nabi Muhammad Saw bilamana Nabi Saw lewat di hadapan
rumahnya. Nabi Saw biasa lewat di hadapan rumah nenek tua tersebut setiap pagi
bilamana beliau bertolak menuju ke masjid dan setiap pagi wanita ini biasa
melemparkan sampah ke arah Nabi Saw akan tetapi Nabi Muhammad Saw tidak pernah
marah kepadanya. Hanya saja beberapa hari kemudian, keadaan berubah. Kali ini
Nabi Saw melewati rumah wanita tua tersebut, tidak ada lemparan sampah yang
ditujukan kepada sang Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad Saw merasa heran atas
perubahan ini. Beliau berhenti dan bertanya perihal wanita tersebut kepada
tetangganya apakah dia baik-baik saja karena dia tidak hadir untuk melemparkan
sampah kepada Nabi Saw. Tetangga wanita tersebut berkata bahwa wanita tua
tersebut jatuh sakit dan terbaring di pembaringan. Tatkala wanita tua tersebut
melihat Nabi Muhamamad Saw hadir di rumahnya, dia berpikir bahwa Nabi datang
untuk menuntut balas atas perbuatannya. Ia berkata “Mengapa Anda tidak
menantikan aku hingga sembuh dan kuat?” Nabi Muhamamad Saw berkata bahwa beliau
datang bukan untuk menuntut balas, tetapi untuk melihat keadaannya sekiranya ia
memerlukan pertolongan.
Dan
sebelum kita mengakhiri tulisan ini, ada sebuah ilustrasi yang ditulis oleh
Paulo Coelho:
'Sa’adi
dari Shiraz (Persia) pernah bercerita, “Ketika saya masih kecil, saya pernah
sembahyang dengan bapak, paman dan misan-misan saya. Tiap malam kami
bersama-sama mendengar bacaan sebagian Al-Qur’an. Suatu malam, ketika paman
saya membaca satu bagian dengan suara keras, saya memperhatikan bahwa
kebanyakan orang sedang mengantuk. Saya bilang pada bapak saya, “Tidak ada
satupun dari orang-orang ngantuk ini mendengarkan kata-kata kitab suci. Mereka
tidak pernah mencapai Tuhan.” Dan bapak saya bilang, “Anakku sayang, lihatlah
jalanmu sendiri dengan mata iman dan biarkan orang lain menjaga diri mereka
sendiri”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar