oleh Syahid
Ayatullah Murtadha Muthahhari (Filsuf Syi’ah)
LOGIKA KERETA UAP
Saya pernah bertanya kepada salah seorang
teman tentang apakah yang dimaksud dengan logika kereta uap? Dia menjawab:
“Saya mendapatkan pelajaran berharga dari kereta uap dan saya memahami masyakat
melalui logika tersebut.” “Ketika saya masih kecil, kereta api yang ada pada
waktu itu tidak seperti yang ada sekarang ini. Saya menyaksikan saat kereta api
tersebut berhenti di stasiun, anak-anak kecil berlarian mendatangi dan
menontonnya. Mereka memandanginya dengan penuh keheranan dan kekaguman.
Nampaknya mereka mengagumi betul kereta api yang sedang berhenti tersebut.
Cukup lama mereka memandangi kereta itu dengan rasa kagum hingga tiba jam
pemberangkatan, dan kereta tersebut kembali bergerak. Saat kereta api mulai
melaju, anak-anak itu segera mengambil batu dan melempari kereta tersebut. Saya
sungguh terkejut melihat sikap mereka. Jika memang harus dilempari, mengapa
mereka tidak melakukannya di saat kereta tersebut berhenti, meskipun hanya
dengan batu kerikil? Jika merasa kagum melihat kereta api yang sedang diam,
mereka juga semestinya lebih kagum saat melihat kereta tersebut bergerak.”
Inilah perkara yang membingungkan saya. Ketika
saya beranjak dewasa dan terjun ke tengah-tengah masyarakat, saya menyaksikan
bahwa gaya hidup masyarakat kita (orang-orang Iran) pada umumnya hanya
menghormati seseorang selama ia diam. Tatkala seseorang bersifat statis, ia
akan lebih dihormati dan dikagumi. Namun tatkala dirinya bergerak dan melangkah
secara progressif, masyarakat pun mulai mencela dan menghinanya. Sikap seperti ini
menandakan bahwa masyarakat tersebut telah mati. Masyarakat yang hidup akan
menghormati orang yang berbicara dan bertindak kreatif, bukan orang yang hanya
berdiam diri. Masyarakat yang hidup akan menghormati orang yang progressif,
kreatif, dan berwawasan luas. Inilah tanda-tanda kehidupan dan kematian. Kedua
hal ini merupakan sinyal yang paling jelas, disamping masih terdapat pula
berbagai sinyal-sinyal lainnya.
KETERKAITAN SALAH SATU TANDA KEHIDUPAN
Salah satu tanda dari suatu masyarakat yang
dinamis adalah keterkaitan antar-individu yang ada di dalamnya. Ciri-ciri
masyarakat yang mati adalah tidak terdapatnya keterikatan antar anggota, saling
berpecah belah serta saling terpisah antara satu sama lain. Sementara ciri-ciri
masyarakat yang hidup adalah adanya saling keterkaitan dan kerja sama di antara
anggotanya. Masyarakat Islam pada masa sekarang merupakan masyarakat yang hidup
ataukah masyarakat yang mati? Masyarakat Islam dewasa ini adalah masyarakat
yang mati. Ini terbukti dengan terjadinya pembunuhan, perang saudara, dan
konflik yang mencuat di kalangan internal sendiri, sehingga mengakibatkan
musuh-musuh Islam mampu memanfaatkan keadaan untuk terus melemahkan kaum
muslimin.
Sehubungan dengan persatuan kaum muslimin,
Rasulullah SAWW pernah menyampaikan ungkapan yang sangat
indah: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai,
saling menyayangi, dan saling bersikap ramah di antara mereka bagaikan
tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh anggota
tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur dan merasa demam.”[9] Mereka
adalah manifestasi dari ayat yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu
kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”[10]
Jika salah satu anggota tubuh terkena infeksi,
dengan segera rasa demam akan menguasai seluruh badan. Tatkala terjadi
peradangan di dalam usus seseorang dan dokter masih belum bisa mengetahui jenis
penyakit apa yang dideritanya meskipun telah dilakukan diagnosa secara
maksimal, seluruh anggota tubuhnya akan merasakan panas yang luar biasa. Reaksi
tubuh semacam ini menunjukkan adanya kehidupan di dalam tubuh.
Apakah kondisi kaum muslimin seperti ini? Apakah
mereka akan bereaksi di saat salah seorang anggotanya merasakan sakit dan
menderita? Sekitar 500 tahun silam, Andalusia yang merupakan salah satu anggota
tubuh kaum muslimin yang paling penting, mengalami musibah dan penderitaan
(Lihat, Dr. Ayati, Tarikh Andalus, Tehran University). Namun,
kaum muslimin di belahan dunia lain tidak memberikan perhatian sama sekali kepadanya.
Bahkan banyak yang diantaranya yang sama sekali tidak mengetahui penderitaan
yang mereka alami. Padahal, perkembangan peradaban Islam dan dunia amat
berutang budi pada Andalusia. Pada masa itu meletus pertikaian antara kalangan
Syi’ah dan Sunni. Sayang, kaum muslimin pada umumnya tidak menyadari bahwa
tragedi tersebut merupakan musibah yang besar bagi dunia Islam.
Iqbal menyatakan bahwa dalam sejarah,
pemikiran yang Islami telah mati sejak 500 tahun lalu. Selama kurun waktu itu,
kaum muslimin hanya menampilkan gaya pemikiran Islam yang kering, sembari
mengubur bentuk pemikiran Islami yang hidup dan dinamis. Apakah saya dan Anda
ikut menderita oleh berbagai musibah yang dialami kaum muslimin pada masa
sekarang, seperti penderitaan yang dirasakan kaum muslimin di Palestina? Rasa
simpati apakah yang kita berikan pada mereka? Jika kita tidak menaruh perhatian
kepada mereka, kita bukanlah termasuk orang-orang Islam berdasarkan hadis Nabi
yang berbunyi: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam
saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersikap ramah di antara
mereka bagaikan tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit,
seluruh anggota tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur
dan merasa demam.”[11]
Hadis Nabi ini menjelaskan tentang tanda-tanda
kehidupan masyarakat Islam. Dalam hadis lain, beliau bersabda: “Barang
siapa yang mendengar seseorang menyeru memohon pertolongan dari kaum
muslimin dan yang mendengar tidak menolongnya, maka dia bukan muslim.”[12] Barang
siapa yang tidak memiliki keterkaitan diri dengan saudara-saudara muslim
lainnya, maka dia bukanlah seorang muslim.
Apabila saya utarakan seluruh persoalan ini
tentu akan menyita banyak waktu. Namun yang terpenting dari semua itu adalah
bahwa kita harus menampilkan pemikiran Islami dalam bentuk yang hidup dan
dinamis. Telah saya jelaskan sebelumnya tentang bagaimana kekeliruan kita dalam
menerima ajaran Islam. Kita harus banyak melakukan introspeksi diri, dan
lihatlah, apakah kita mengenakan pakaian (keislaman) secara terbalik. Ternyata
kita memang mengenakan baju keislaman secara demikian. Kita tidak menyadari
bahwa pakaian tersebut telah dikenakan secara terbalik, sampai-sampai orang
lain mengingatkan kita.
Kita harus benar-benar memperbaiki cara
berpikir kita. Sebabnya, barangkali kita memang mengenakan baju keislaman
secara terbalik sebagaimana pernah dikatakan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
as. Teman saya pernah melontarkan kritik dengan mengatakan: “Apakah pengormatan
terhadap Iqbal tidak menunjukkan penyembahan terhadap orang yang sudah mati?
Apakah kita baru menghormati orang besar setelah ia mati?” Maksud dari
kritiknya adalah mengapa kita tidak menghormati tokoh besar yang masih hidup,
meskipun kualitas keilmuannya berada di bawah Iqbal. Bahkan banyak pula tokoh
pemikir yang masih hidup yang memiliki kapasitas ilmu lebih tinggi dari Iqbal
tidak kita hormati?
Allamah Thabathaba’i merupakan salah seorang
tokoh besar yang masih hidup. Namun mengapa kita tidak menghormatinya? Yang
jelas, pertemuan kita kali ini bukan dalam rangka menentukan siapa yang layak
untuk dihormati dan memperoleh hak yang semestinya. Namun lantaran masalah ini
telah disinggung sebelumnya, maka saya akan memberikan sedikit penjelasan
tentangnya. Allamah Thabathaba’i termasuk salah seorang tokoh yang banyak
mengabdi kepada Islam. Beliau merupakan bentuk konkret dari ketakwaan dan
ketinggian nilai spiritual. Beliau telah mencapai kedudukan yang tinggi dalam
penyucian jiwa dan ketakwaan.
Selama bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang,
saya telah banyak menimba pelajaran dari tokoh besar ini. Kitab Tafsir Al-Mizan
yang ditulisnya merupakan salah satu kitab tafsir Al-Qur’an yang sangat luar
biasa. Memang, Al-Qur’an memiliki kedudukan yang tinggi dan tidak satupun kitab
tafsir yang mampu memenuhi hak Al-Qur’an dengan semestinya. Setiap ahli tafsir
hanya memandang Al-Qur’an dari sisi tertentu.
Sejak abad permulaan Islam sampai hari ini,
kitab Tafsir Al-Mizan merupakan kitab terbaik yang pemah ditulis di kalangan
Syi’ah dan Sunni. Allamah Thabathaba’i jelas merupakan tokoh besar dan agung.
Merupakan tugas kita semua untuk menghormati beliau yang kini telah berusia
sekitar tujuh puluh tahun. Tak ada satupun orang yang sudah lanjut usia seperti
beliau yang memiliki prestasi ilmiah semacam ini. Beliau menghabiskan umurnya
untuk mendalami studi moral, budaya Islam, dan sastra Arab. Mengapa orang
seperti ini layak dimuliakan dan dihormati? Sebabnya, beliau memiliki ilmu dan
jiwa sosial yang mengagumkan. Masyarakat yang tidak pernah belajar dari orang
besar ini hanya akan memperoleh sedikit manfaat. Kaum muslimin harus banyak
belajar dari tokoh besar ini supaya mendapatkan banyak keuntungan.
Perbedaan masa kita sekarang dengan masa silam
adalah tokoh-tokoh yang muncul pada masa sekarang mudah terkenal (melalui
medium percetakan buku dan sebagainya). Allamah Thabathaba’i tidak hanya
dikenal di kalangan orang Iran saja. Beliau juga dikenal di seantero dunia
Islam. Tafsir Al-Mizan yang disusunnya telah berkali-kali dicetak ulang secara
diam-diam di Beirut, Lebanon. Ini membuktikan bahwa pemikiran dan buku beliau
sangat terbuka bagi dunia Islam. Orang-orang orientalis pun mengenal siapa
tokoh ini. Amerika dan Eropa mengenal beliau sebagai seorang pemikir besar
Islam.
Allal Al-Faasi juga termasuk salah seorang
tokoh dalam dunia Islam. Ketika datang ke Iran, ia berkunjung ke kota Qom dan
mendatangi rumah Allamah Thabathaba’i. Dia sangat kagum menyaksikan ketinggian
kedudukan spiritual Allamah Thabathaba’i. Kepribadian Allamah Thabathaba’i
tidak hanya terbatas sebagai pribadi Syi’ah semata, melainkan juga sebagai
orang yang memiliki ilmu yang bersifat universal. Namun sangat disayangkan,
pribadi mulia ini pernah menderita sakit jantung selama satu tahun. Saya
memohon kepada Allah agar berkenan menjaga tokoh besar ini untuk kita semua.
Beliau benar-benar tokoh mulia yang memiliki kedudukan spiritual yang tinggi.
Akhir-akhir ini, beliau menunjukkan sikap ikut merasakan penderitaan saudaranya
sesama muslim.
Saudara-saudara muslim kita tengah menderita
di Palestina, sementara Amerika tidak mampu memberikan hak yang semestinya
kepada mereka. Kita harus memberikan perhatian dan bantuan kepada mereka.
Allamah Thabathaba’i segera membuka rekening di bank untuk membantu
saudara-saudara muslimin di Palestina yang sedang kesusahan. Beliau membuka
rekening di bank Millie Iran, bank Bozargoni, dan bank Shaderaat. Beliau
juga dibantu Ayatullah Sayyid Abul Fadhl Musawi Zanjani yang merupakan tokoh
mulia dan memiliki kedudukan spiritual yang tinggi. Beliau adalah seorang
mujtahid yang adil. Saya termasuk orang ketiga yang ikut membuka rekening
tersebut. Jadi rekening bantuan kemanusiaan untuk kaum muslimin di Palestina
tersebut dibuka atas nama tiga orang (Allamah Thabathaba’i, Ayatullah Zanjani,
Syahid Muthahhari).
Program dana kemanusiaan ini tidak memandang
berapa banyak uang yang terkumpul. Jika semua orang Iran mengumpulkan hartanya,
barangkali tidak bisa menandingi banyaknya harta yang dimiliki dua orang Yahudi
kaya raya yang tinggal di Amerika, yang meraup harta dengan jalan riba dan
mencuri. Hal terpenting bagi kita adalah bagaimana jiwa kita ikut merasakan
penderitaan orang lain dan memiliki keterikatan hati dengan mereka.
Saya ingin memberikan sebuah contoh berkenaan
dengan masalah ini. Sewaktu Nabi Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang
sedang membara, seekor burung Bul-bul terbang mendekati tempat Nabi Ibrahim
dibakar. Burung tersebut memenuhi paruhnya dengan air dan kemudian
ditumpahkannya di atas kobaran api yang tengah menjilat tubuh Nabi Ibrahim.
Melihat tindakan burung tersebut, Nabi Ibrahim bertanya dengan penuh rasa
heran: “Wahai burung kecil! Apakah air yang kamu tumpahkan dari
paruhmu berguna untuk memadamkan api yang besar ini?” Burung Bul-bul itu
menjawab: “Dengan cara ini saya ingin memperlihatkan akidah, iman,
dan hubungan saya dengan Nabi Ibrahim as.”
Kendati Anda hanya menyumbang dengan sedikit
harta, namun sumbangan tersebut tetap bernilai. Dengannya, Anda telah
menunjukkan perasaan dan kepedulian Anda terhadap orang lain yang tengah
menderita. Melalui tindakan tersebut, Anda telah mempererat hubungan dengan
Imam Husain as. Sebagaimana telah saya sampaikan pada awal pembicaraan, bahwa
hari ini merupakan hari untuk “berhubungan dengan para Syuhada”. Mudah-mudahan
kita semua digolongkan ke dalam barisan orang-orang yang syahid. Kita harus
selalu mengatakan: “Assalâmu ‘alaikum ya Abâ Abdillah, ya laitanâ
kunnâ ma’aka fa nafûza fauzan ‘azhiman” (Salam sejahtera bagimu wahai Aba
Abdillah, andai saja kami bersamamu pada saat itu, maka kami akan sangat
beruntung). Andai saja kami bersamamu, wahai Husain. Imam Husain mengatakan
bahwa Karbala tidak hanya terjadi dalam satu hari saja. Tragedi Karbala akan
senantiasa terjadi, kapanpun, di mana pun!
Salah satu bukti bahwa masyarakat kita telah
mati adalah pecahnya tragedi Karbala. Sekarang ini, kita tengah memperingati
hari Arbain (empat puluh hari syahadahnya Imam Husain as). Pada
hari Arbain telah terjadi dua peristiwa penting; datangnya Jabir bin
Abdullah Al-Anshori untuk berziarah ke makam Imam Husain as serta pembacaan
ziarah Arbain yang disunahkan pada hari ini. Keterangan lebih rinci
tentangnya akan saya sampaikan pada lain kesempatan. Disunahkan untuk berziarah
kepada Imam Husain as di mana saja kita berada, sekalipun dari jarak jauh.
Dalam kesempatan ini, saya akan menyampaikan
suatu peristiwa yang pada dasarnya tidak termaktub dalam seluruh buku standar
kesejarahan, kecuali dalam satu buku saja. Buku tersebut juga tidak bisa
dikategorikan sebagai buku sejarah yang mu’tabar (otentik).
Pengarangnya, yang merupakan salah seorang tokoh besar, menulis buku tersebut
ketika ia masih muda. Buku tersebut mencakup sejumlah peristiwa bohong yang
tidak terdapat dalam sejarah. Tak seorang pun dari kalangan sejarahwan, ahli
hadis, dan penulis maqtal Islam yang menceritakan peristiwa tersebut.
Mereka bahkan mengingkarinya. Terjadinya peristiwa tersebut juga tidak bisa
diterima oleh akal sehat. Kejadian bohong itu berkisar tentang datangnya Ahlul
Bait Nabi dan keluarga suci Imam Husain as dari Syam ke gurun Karbala pada
tanggal 20 Shafar 61 H (hari Arbain).
Kita sering mendengar kisah ini. Namun saya
tidak ingat rinciannya. Barangkali kita tidak pernah mendengar bahwa yang
berziarah ke makam Imam Husain as pada hari Arbain hanyalah dua
orang. Dalam seluruh majlis yang ada, kita pasti akan mendengar kisah seperti
ini. Diceritakan bahwa keluarga suci Imam Husain as datang ke Karbala dan
menuju ke pusara Imam Husain as. Mereka membacakan syair-syair, puisi-puisi
kesedihan, dan memukul-mukul dada masing-masing. Jelas, hal ini merupakan
kebohongan belaka.
Inilah tanda-tanda kematian suatu masyarakat.
Menerima kebohongan begitu saja dan gagap terhadap kebenaran serta kejujuran.
Jabir bin Abdullah Al-Anshori merupakan sahabat Nabi yang menemani beliau sejak
masa remaja. Di saat terjadi perang Uhud, Jabir masih berusia 16 tahun dan baru
menginjak masa baligh. Ketika Rasulullah wafat, ia telah berumur kira-kira 22
atau 23 tahun. Atas dasar ini, maka usia Jabir pada tahun 61 H Jabir adalah 72
tahun. Di akhir usianya, kedua matanya mengalami kebutaan. la bertolak ke
Karbala ditemani oleh Athiyah Al-Aufâ, seorang ahli hadis. Tatkala tiba di
sana, Jabir terlebih dahulu pergi ke sungai Furat (Eufrat) untuk membersihkan
dirinya sebelum melakukan ziarah. la mengambil tumbuh-tumbuhan yang berbau
harum dan menjadikannya sebagai pewangi yang mengharumkan tubuhnya.
Athiyah mengatakan: “Setelah selesai
membersihkan diri di sungai Furat, Jabir melangkah mendekati kubur Imam Husain
as dengan perlahan-lahan sambil bibirnya mengucapkan zikir dan kalimat-kalimat
suci”. Jabir termasuk salah seorang pengikut Imam Ali dan Ahlul Bait Nabi. Usia
Jabir lebih tua dari Imam Husain, sekitar 12 tahun. Dengan langkahnya yang
perlahan-lahan, akhirnya sampai juga ia ke pusara Imam Husain as. Setelah itu,
Jabir berteriak: “Habibi ya Husainl! Kekasihku, wahai Husain! Habîbun
lâ yujîbu habîbah? Mengapa kekasih tidak menjawab seruan kekasihnya? Akulah
Jabir bin Abdullah Al-Anshori, akulah temanmu, akulah sahabat dekatmu, akulah
budakmu yang tua renta! Mengapa engkau tidak menjawab seruanku, wahai Husain?
Husain kekasihku, engkau berhak untuk tidak menjawab seruanku, seruan budakmu
yang tua renta. Aku tahu apa yang telah mereka lakukan terhadap urat’iirat
lehermu. Aku tahu kepala muliamu telah terpisah dari raga sucimu …“.
Jabir mengucapkan banyak mengeluarkan
kata-kata hingga akhirnya tidak sadarkan diri. Setelah siuman, ia menolehkan
kepalanya ke sana kemari, seakan-akan dirinya memandang dengan mata batin
seraya mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum ayyatuhal arwâhil latî hallat
bi finâ`il Husain, salam sejahtera bagi jiwa-jiwa yang berguguran bersama
gugurnya Imam Husain.”
Setelah memberikan banyak kesaksian, Jabir
mengatakan: “Aku bersaksi bahwa aku bersamamu dalam perjuangan
ini.” Athiyah terkejut mendengar kata-kata Jabir. Apa maksud kata-katanya?
Apakah kita bersama mereka dalam perjuangan ini? Athiyah berkata kepada
Jabir: “Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, bukankah kita tidak
berjihad bersama mereka? Kita tidak mengangkat pedang untuk berjuang,
mengapa kamu katakan bahwa kita bersama mereka dalam perjuangan
inil” Jabir mengatakan, “Saya mendengar Rasulullah
pernah mengatakan: ‘Barang siapa yang mencintai temannya
dari kedalaman hati, maka jiwanya akan menyatu dengannya dan bersama
dalam suatu perbuatan. Saya tidak bergabung dengan Imam Husain dalam
perjuangannya saat itu karena saya tidak mampu bersamanya pada saat itu.
Saya tidak ikut berjuang bersamanya, namun jiwaku terbang bersama Imam
Husain. Jiwa kita bersama jiwa Imam Husain sebelumnya, dan saya berhak mengaku
bahwa saya turut serta dalam perjuangan Imam Husain’.”
CATATAN
[1] Al-Anfâl: 24.
[2] Al-Mukminûn: 115.
[3] Al-Baqarah: 225.
[4] Nahjul Balâghah, “Faidhul Islam”, Khutbah ke-70,
hal. 324.
[5] Thâhâ: 74; al-A’lâ: 13.
[6] Al-Anfâl: 24.
[7] An-Naml: 80.
[8] Al-Fâthir: 80.
[9] Al-Jâmi ash-Shaghîr, Jilid II, hal.155.
[10] Al-Anfâl: 24.
[11] Al-Jâmi ash-Shaghîr, Jilid II, hal.155.
[12] Wasâ`il as-Syi’ah: Jilid XI, hal. 108 dan
560; Ushûl al-Kâfi, Jilid III, hal.239.