Di waktu-waktu malam, di waktu-waktu ia mengembarakan
pikiran, khayalan, dan angan-angan kesepiannya sembari duduk menghadap meja
tempatnya merenung dan menulis itu, ia biasanya akan mencurahkan
kegelisahan-kegelisahan, rasa bosan, dan kegundahan yang merundung hatinya di
lembar-lembar catatan harian kesayangan miliknya, mungkin sebagai topeng dan
selubung untuk menutupi kesepiannya.
Atau mungkin hanya sekedar mencurahkan agar
tidak menjadi beban hati dan pikirannya yang acapkali terdesak rasa asing tanpa
ia tahu apa sebab sesungguhnya.
Sementara itu, di waktu-waktu pagi dan sore
hari, ia berusaha menyibukkan diri dengan menanam dan menyirami tanaman yang
telah ia tanam. Kesibukan tambahan itu ia lakukan dan ia pilih sebagai
penghiburan diri, mungkin juga untuk mengalihkan kesepian dan kebosanannya agar
ia tidak terlampau menyibukkan diri dengan membaca buku-buku miliknya,
merenung, atau pun menulis.
Seringkali juga terpikir di saat-saat ia
membaca, merenung, dan menulis itu, bahwa mungkin saja orang-orang yang selama
ini tidak membaca buku-buku filsafat dan kesusasteraan lebih merasakan
kebahagiaan dalam hidup mereka, yah orang-orang bersahaja seperti para petani
yang sesekali ia perhatikan secara seksama yang menurutnya lebih terlihat tulus
ketika mereka bekerja di sawah-sawah dan di ladang-ladang.
Mereka bekerja dari pagi hingga menjelang
siang, dari sore hari hingga di ujung senja. Ia selalu memandangi mereka
bekerja di waktu-waktu jedanya ketika ia sedang menulis atau membaca di gubuk
yang memang tak jauh dari hamparan sawah-sawah itu. Sebagian adalah ibu-ibu dan
beberapa di antara mereka adalah perempuan-perempuan yang masih terhitung muda.
Yah mereka, para petani itu, tentu saja tidak
pernah menyibukkan dirinya dengan persoalan-persoalan epistemologis dan
pertanyaan-pertanyaan axiomatik seperti halnya seorang pemikir atau pun penulis
seperti dirinya. Jikalau pun mereka berpikir, tentu sebatas bagaimana memenuhi
kebutuhan wajib keseharian mereka untuk menghidupi diri dan keluarganya, dan
itu memang sama terhormatnya dengan para sarjana dan penulis yang mencari
nafkah dan gengsi sosial dari pengetahuan dan keterampilan mereka.
Sebenarnya, saat
itu, ia tengah dirundung dan digundahkan sejumlah pertanyaan, yang barangkali
muncul dari kegelisahan dan kebosanannya. Pertanyaan-pertanyaannya itu,
bagaimana pun, muncul silih berganti dalam benaknya ketika ia meragukan apa
yang ia lakukan selama ini dengan menulis dan membaca. Kebuntuan yang tiba-tiba
segera mengingatkannya pada Tukang Batu-nya Rabindranath Tagore:
“Kau kira aku anak kecil, Ibu, tapi kau
keliru, sebab aku adalah Noto, tukang batu, dan aku berusia tiga puluh tahun.
Tiap pagi kunaiki kereta dan pergi ke kota
dan kususun batu demi batu dengan semen dan kapur dan kugambar dinding layaknya
gambar menangkapku.
Kau kira aku bermain rumah-rumahan dengan
kerikil dan batu-batu, tetapi kukatakan padamu aku membangun rumah sungguh-sungguh.
Ini bukanlah rumah-rumah kecil sebab
kudirikan tiga tingkat dan tiang-tiang yang kuat.
Tetapi bila kau tanyakan padaku kenapa aku
berhenti di sana dan kenapa aku tak meneruskan membangun tingkat demi tingkat
hingga atapnya mencapai bintang-bintang, kuyakin aku tak dapat mengatakannya
padamu dan kuherani diriku sendiri kenapa aku berhenti di mana saja pada
segala.
Kunaiki perancah saatku suka dan ini adalah
kegembiraan yang lebih besar ketimbang sekedar bermain-main. Kudengar
pekerja-pekerja lelaki dan perempuan bernyanyi-nyanyi dalam bekerja dan
meratakan atap, gerobak-gerobak berderak-derak sepanjang jalan-jalan, dan musik
jalan dari pedagang-pedagang dan para penjual barang logam dan buah-buahan;
pada petang hari bocah-bocah lari pulang dari sekolah dan gagak-gagak terbang
berkoak-koak ke sarang mereka.
Kau tahu, Ibu, aku tinggal di dusun kecil di
tepi telaga.
Tetapi bila kau tanyakan padaku mengapa
kutinggal dalam sebuah gubuk beratap jerami meski kubisa mendirikan rumah-rumah
besar dari batu dan mengapa rumahku tidak akan yang terbesar dari semuanya,
kuyakin aku tiada dapat mengatakan padamu.”
Apa yang
ditulisnya dalam buku catatan harian kesayangannya itu barangkali tak lebih
ikhtiar penghiburan dirinya sendiri di sela-sela waktu menulis dan membaca, di
mana ia dapat menemukan kenyamanan dalam kesendiriannya di waktu malam, pagi,
dan sore hari.
Ia akan menuliskan
apa saja yang ingin dituliskannya di lembar-lembar bergaris horisontal buku
catatan harian kesayangannya itu kapan pun ia ingin menuliskannya.
Dengan menulis di lembar-lembar bergaris
horisontal buku catatan harian kesayangannya itu, ia pun menemukan kebebasan
yang paling menyenangkannya. Kadang-kadang ia menuliskannya sembari
mendengarkan musik-musik klasik dan jazz, dan kadang-kadang dalam keadaan
senyap di antara suara kersik daun dan desiran angin yang samar-samar pada
waktu tengah malam hingga subuh menjelang.
Ilustrasi: Lukisan karya Mikki Senkarik.