Oleh Prof.
Dr. Sulaiman Dunya (Guru Besar Filsafat dari Fakultas Usuluddin di
Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir)
“Agar
terjalin pertalian antara Syi’ah dan Sunni atas dasar prinsip-prinsip
persaudaraan, pertalian cinta-kasih dan solidaritas, sekaligus mencerabut
benih-benih perpecahan yang telah ditanamkan oleh musuh-musuh kedua mazhab ini”
Segala puji dan syukur hanya kepada Allah; Tuhan alam semesta. Shalawat dan salam atas Rasulullah, sebaik-baiknya makhluk, dan atas keluarganya yang suci nan mulia, serta atas segenap sahabatnya.
Amma ba'du. Beberapa waktu yang lalu, saya telah menulis sebuah risalah sederhana di bawah judul “Antara Syi’ah dan Sunni”; risalah yang menyimpan harapan yang besar dan keinginan yang kuat agar terjalin pertalian antara Syi’ah dan Sunni atas dasar prinsip-prinsip persaudaraan, pertalian cinta-kasih dan solidaritas, sekaligus mencerabut benih-benih perpecahan yang telah ditanamkan oleh musuh-musuh kedua mazhab ini ke dalam jiwa-jiwa setiap penganutnya. Masih di dalam risalah yang sama, saya menyerukan supaya setiap mazhab memandang perspektif mazhab lainnya selayaknya orang alim yang sedang mencari kebenaran, dan menyadari bahwa hanya kebenaranlah yang sepatutnya diikuti.
Telah saya katakan di sana, bahwa bila semangat yang kita warisi dari orang-orang soleh kita yang terdahulu itu telah menekankan keharusan komitmen pada kebenaran di mana pun, dan menerangkan bahwa kebenaran adalah pusaka berharga seorang mukmin yang hilang yang akan ia ambil di mana pun ia menemukannya, meskipun jatuh dari mulut orang kafir. Mereka menegaskan kepada kita bahwa orang yang berakal tidak akan menentukan kebenaran atas dasar figur seseorang, akan tetapi atas dasar bukti dan argumentasi. Maka dengan mengenal kebenaran, ia juga akan mengenal orang-orang yang benar.
Oleh karena itu, telah menjadi keharusan atas kita sebagai generasi penerus mereka, supaya senantiasa mencari kebenaran, berpegang teguh padanya, mempersiapkan diri dalam rangka menyampaikan pesan-pesannya dan bergerak di sekitar porosnya, tanpa lagi memandang siapa yang menyerukannya kepada kita.
Tentunya, dapat dimaklumi oleh orang-orang yang berakal bahwa perkara-perkara yang secara yakin masih belum diketahui selalu menjadi titik silang pendapat. Begitu pula, sikap saling menghormati setiap pendapat oleh setiap pengkaji dalam segala persoalan yang membuka pelbagai macam benturan pemikiran adalah sebuah keharusan dan tuntutan. Maka itu, mereka dapat berselisih pandangan dan, pada saat yang sama, duduk sejajar sebagai sahabat-sahabat yang baik.
Semoga Allah swt. melimpahkan rahmat kepada seseorang yang mengatakan: "Selisih pendapat tidaklah mengancam jalinan cinta". Sesungguhnya Islam adalah agama yang menjunjung semangat toleransi dan keterbukaan sebegitu tingginya. Al-Quran menyatakan: "Dan berserulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan sebaik-baiknya cara". Maka, bila seseorang ingin menikmati kebebasan dirinya dan mengekspresikan hasil-hasil kajian dan pikirannya, tidaklah sepatutnya memungkiri hak kebebasan pada orang lain untuk berbicara dan mengungkapkan hasil-hasil pemikiran dan pencarian intelektualnya.
Dan cukuplah sebuah kebanggaan bagi kaum Muslim tatkala mereka bersatu dan mufakat di atas prinsip-prinsip agama. Tampak begitu jelas; bagaimana prinsip ketuhanan menempati puncak sakralitas di dalam jiwa-jiwa Muslim, bagaimana prinsip Hari Kebangkitan, prinsip Kenabian dan kebergantungan umat manusia kepada prinsip-prinsip ini serta penutupan silsilah kenabian oleh Tuan umat manusia, Muhammad bin Abdillah saw., bagaimana mereka semua mempercayai kebenaran Al-Quran Al-Karim dan hadis-hadis sahih dari Rasulullah saw. Semua prinsip kepercayaan agama ini terpatri kuat di dalam dada dan jiwa segenap umat Islam.
Kehormatan dan sakralitas tiap-tiap prinsip itu tak terimbangi oleh sakralitas dan fanatisme agama apapun pada jiwa para penganutnya. Semua di atas tadi telah saya sampaikan bahkan lebih intensif lagi dalam risalah sederhana "Antara Syi’ah dan Ahli Sunnah (Sunni)", meskipun di dalam risalah ini saya belum sempat menuliskan apa yang ingin aku ungkapkan lantaran pertimbangan kondisi proses penyetakan kala itu.
Segala puji dan syukur hanya kepada Allah; Tuhan alam semesta. Shalawat dan salam atas Rasulullah, sebaik-baiknya makhluk, dan atas keluarganya yang suci nan mulia, serta atas segenap sahabatnya.
Amma ba'du. Beberapa waktu yang lalu, saya telah menulis sebuah risalah sederhana di bawah judul “Antara Syi’ah dan Sunni”; risalah yang menyimpan harapan yang besar dan keinginan yang kuat agar terjalin pertalian antara Syi’ah dan Sunni atas dasar prinsip-prinsip persaudaraan, pertalian cinta-kasih dan solidaritas, sekaligus mencerabut benih-benih perpecahan yang telah ditanamkan oleh musuh-musuh kedua mazhab ini ke dalam jiwa-jiwa setiap penganutnya. Masih di dalam risalah yang sama, saya menyerukan supaya setiap mazhab memandang perspektif mazhab lainnya selayaknya orang alim yang sedang mencari kebenaran, dan menyadari bahwa hanya kebenaranlah yang sepatutnya diikuti.
Telah saya katakan di sana, bahwa bila semangat yang kita warisi dari orang-orang soleh kita yang terdahulu itu telah menekankan keharusan komitmen pada kebenaran di mana pun, dan menerangkan bahwa kebenaran adalah pusaka berharga seorang mukmin yang hilang yang akan ia ambil di mana pun ia menemukannya, meskipun jatuh dari mulut orang kafir. Mereka menegaskan kepada kita bahwa orang yang berakal tidak akan menentukan kebenaran atas dasar figur seseorang, akan tetapi atas dasar bukti dan argumentasi. Maka dengan mengenal kebenaran, ia juga akan mengenal orang-orang yang benar.
Oleh karena itu, telah menjadi keharusan atas kita sebagai generasi penerus mereka, supaya senantiasa mencari kebenaran, berpegang teguh padanya, mempersiapkan diri dalam rangka menyampaikan pesan-pesannya dan bergerak di sekitar porosnya, tanpa lagi memandang siapa yang menyerukannya kepada kita.
Tentunya, dapat dimaklumi oleh orang-orang yang berakal bahwa perkara-perkara yang secara yakin masih belum diketahui selalu menjadi titik silang pendapat. Begitu pula, sikap saling menghormati setiap pendapat oleh setiap pengkaji dalam segala persoalan yang membuka pelbagai macam benturan pemikiran adalah sebuah keharusan dan tuntutan. Maka itu, mereka dapat berselisih pandangan dan, pada saat yang sama, duduk sejajar sebagai sahabat-sahabat yang baik.
Semoga Allah swt. melimpahkan rahmat kepada seseorang yang mengatakan: "Selisih pendapat tidaklah mengancam jalinan cinta". Sesungguhnya Islam adalah agama yang menjunjung semangat toleransi dan keterbukaan sebegitu tingginya. Al-Quran menyatakan: "Dan berserulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan sebaik-baiknya cara". Maka, bila seseorang ingin menikmati kebebasan dirinya dan mengekspresikan hasil-hasil kajian dan pikirannya, tidaklah sepatutnya memungkiri hak kebebasan pada orang lain untuk berbicara dan mengungkapkan hasil-hasil pemikiran dan pencarian intelektualnya.
Dan cukuplah sebuah kebanggaan bagi kaum Muslim tatkala mereka bersatu dan mufakat di atas prinsip-prinsip agama. Tampak begitu jelas; bagaimana prinsip ketuhanan menempati puncak sakralitas di dalam jiwa-jiwa Muslim, bagaimana prinsip Hari Kebangkitan, prinsip Kenabian dan kebergantungan umat manusia kepada prinsip-prinsip ini serta penutupan silsilah kenabian oleh Tuan umat manusia, Muhammad bin Abdillah saw., bagaimana mereka semua mempercayai kebenaran Al-Quran Al-Karim dan hadis-hadis sahih dari Rasulullah saw. Semua prinsip kepercayaan agama ini terpatri kuat di dalam dada dan jiwa segenap umat Islam.
Kehormatan dan sakralitas tiap-tiap prinsip itu tak terimbangi oleh sakralitas dan fanatisme agama apapun pada jiwa para penganutnya. Semua di atas tadi telah saya sampaikan bahkan lebih intensif lagi dalam risalah sederhana "Antara Syi’ah dan Ahli Sunnah (Sunni)", meskipun di dalam risalah ini saya belum sempat menuliskan apa yang ingin aku ungkapkan lantaran pertimbangan kondisi proses penyetakan kala itu.
Dan kini adalah sebuah kebahagiaan besar bagi saya; yaitu diberi kesempatan guna membubuhkan kata pengantar untuk sebuah karya Sayyid Hasan Abu Muhammad, yang berjudul "Peradaban Syi’ah dan Ilmu Keislaman". Di dalamnya, beliau membuka sebentang cakrawala yang barangkali masih asing bagi kebanyakan masyarakat Sunni.
Pada mulanya, saya ingin sekali mempelajari buku ini secara objektif, sehingga berdasarkan sejumlah data dan argumentasi, akan tampak jelas nilai kebenaran duduk persoalan yang tengah diupayakan oleh penulisnya untuk ditangani. Namun, saya mendapatkan buku ini justru di atas kapasitas dan kualifikasi saya sendiri, sebab penulis ra. memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan kekayaan data yang melimpah, sehingga beliau mampu memetakan semua ilmu-ilmu Islam dan Arab, memberikan klaim dan penilaian selayaknya seorang yang menguasai seluk beluknya, menggali kandungan rahasianya, membongkar faktor-faktor kelahirannya dan melacak tahaptahap perkembangannya.
Pada dasarnya, setiap jenjang ilmiah di atas menuntut keterlibatan sejumlah kelompok pakar dalam setiap ilmu tersebut, sehingga masing-masing pakar meneliti materi penelitiannya, lalu penulis yang mulia menerimanya atas dasar bukti, sebagaimana ia pun dapat menolaknya atas dasar bukti pula. Dan seandainya saya tidak lagi sempat berkecimpung di bidang ini dan mencermati subjek buku ini secara kritis lantaran kepercayaan saya pada kesungguhan para pakar yang begitu besar dalam mempelajari buku ini, tentu saya akan kecewa bila saja saya kehilangan kesempatan guna menorehkan sebuah kalimat yang saya anggap sebagai pendalaman atas apa yang telah tertulis di dalam risalah saya; "Antara Syi’ah dan Ahli Sunnah". Kalimat itu ialah bahwa penulis yang mulia ra. mengklaim Syi’ah sebagai pelopor dalam merintis ilmu-ilmu agama dan Arab, lalu beliau membawakan bukti-bukti pendukung. Oleh sebab itu, buku ini berkisar pada penguraian klaim ini dan pemaparan argumentasinya.
Sementara di hadapan klaim tersebut, pembaca berada di antara dua sikap: Sikap pertama adalah sikap kaum pelajar, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap peletak dan penggagas suatu bidang ilmu, dan hanya sibuk mempelajari materi-materi ilmu itu sendiri. Bagi mereka, tidaklah penting identitas para penggagas ilmu-ilmu; apakah ilmu itu hasil kreativitas Muslim Syi’ah saja, atau hasil kreativitas Muslim Sunni saja, atau hasil kerja sama mereka berdua.
Sikap kedua adalah sikap kaum terpelajar, yaitu mereka yang selain mempelajari ilmu-ilmu itu sendiri, juga mengamati kelahiran dan para penggagasnya serta tahap-tahap perkembangan yang dilaluinya. Karena, semua bidang ilmu mempunyai awal pembentukan dan perumusannya, persis dengan awal kelahiran tokoh-tokoh besar. Maka dari itu, setiap ilmu memiliki latar belakang sejarah sebagaimana akar sejarah kelahiran para tokoh besar tersebut.
Kepada kaum terpelajar saya katakan, bahwasanya buku ini merupakan usaha keras yang patut disyukuri. Penulisnya telah mengetengahkan buku tersebut kepada dunia Islam sebagai langkah partisipasi dalam mengemban tugas yang semestinya dipikul oleh para ulama Islam. Itulah sejarah ilmu-ilmu keislaman dan sejarah ilmu-ilmu lain yang diturunkannya.
Untuk itu, tidaklah pantas membalas budi usaha keras dan besar ini dengan cara pandang yang dangkal yang berdasar pada sikap acuh atau sinis. Tidaklah sepatutnya kita mengatakan, misalnya, bahwa usaha ini hanyalah fanatisme, atau penantangan, atau apa saja yang senada dengan kata-kata ini, sebagaimana yang digunakan sebagai alasan pembenaran diri oleh orang yang tidakmenginginkan dirinya terlibat di dalam jerih penelitian.
Sekali lagi, tidaklah sepatutnya kita beranggapan bahwa hanya ini, tidak ada selainnya. Sebab, tidak ada alasan untuk bersikap fanatik, pun tidak ada dalih untuk berlaga menantang, karena Syi’ah sebagaimana Sunni; mereka adalah Muslimin. Perselisihan pendapat mereka dengan Sunni hanya seputar persoalan-persoalan yang masih berada di bawah dataran prinsip agama. Maka itu, Syi’ah adalah saudara Muslim seiman, dan kepeloporan mereka dalam merintis sebagian bidang ilmu tak ubahnya dengan keunggulan seorang saudara di atas saudara lainnya. Dan bagaimanapun, fakta ini menumbuhkan semangat bersaing dan gairah kompetisi, tanpa menciptakan dampak negatif semacam kecurigaan, permusuhan dan pertikaian. Oleh kerena itu, kita tidak punya selain dua pilihan berikut ini:
Pertama, menundukkan kepala sebagai rasa syukur dan penghargaan atas usaha keras yang telah dicurahkan oleh penulis yang mulia, dan atas hasil-hasil penelitian yang telah dicapainya.
Kedua, membalas usaha keras penulis dengan cara dan kerja serupa, serta menawarkan hasilhasil penelitian yang diraih, berikut bukti-bukti yang kuat dan argumentasi yang dapat diterima.
Selanjutnya, saya menghadapkan diri kepada Allah; Dzat Yang Maha Kuasa, sambil berharap semoga Dia menyucikan jiwa-jiwa dari noda-noda yang mencemari mereka dan menggantikannya dengan benih-benih cinta, ketulusan dan persaudaraan, mengembalikan persatuan kepada Muslimin, memahamkan agama kepada mereka, mengingatkan akibat dari setiap urusan mereka, memberikan taufik-Nya kepada mereka sehingga tertuntun di bawah hidayah Islam dalam kehidupan pribadi dan sosial mereka, dan mengaruniakan inayah-Nya pada mereka agar dapat menyampaikan ajaran agama kepada umat manusia dengan mengamalkannya dan menjaga hukum-hukumnya sebagai bukti yang kuat atas keindahan dan kesempurnaannya.
Pada kesempatan ini, saya ingin sekali menyinggung salah satu keunggulan dan kegemilangan kaum Muslimin yang patut kita angkat dan kita banggakan, yaitu karya-karya Sayyid Muhammad Baqir Ash-Ashadr. Saya tidak mengira bahwa dunia sekarang dapat menciptakan semacamnya di tengah-tengah kondisi yang mempersulit penyusunannya. Kecerdasan beliau yang luar biasa telah menghasilkan dua karya besar; yaitu "Falsafatuna" dan "Iqtishoduna". Itulah karya-karya yang mengetengahkan akidah Islam dan sistem sosialnya, dengan tetap mengoreksi pandangan-pandangan yang digagas oleh arus ateis Barat dan para antek-antek mereka yang seringkali memakai jubah Islam sedangkan Islam sendiri tampak jauh dari mereka.
Itulah pandangan-pandangan laksana tumbuhan kesembuhan yang sempat mengapung di permukaan laut lalu tenggelam hilang seakan tak pernah muncul. Untuk itu, kepada mereka yang mengoleksi pelbagai teori palsu di dalam kepala, saya menganjurkan agar menelaah karya-karya itu, dengan harapan mereka dapat menyucikan diri dari kotoran dan najis kebatilan dengan air suci kebenaran, dan menangkap cahaya wujud dari balik hati nurani mereka setelah tersesat di tengah arus alienasi, serta dapat menemukan diri mereka setelah menyia-nyiakannya.
Dan kepada kaum remaja Muslim yang terkecoh oleh sebersit janji peradaban yang palsu, saya menganjurkan agar meluangkan waktu guna membaca karya-karya tersebut. Pada saat yang sama, saya pun sadar bahwa bagaimana membaca karya-karya itu menjadi terasa sukar bagi mereka yang hidup dengan gaya hedonistik dan serba puas, hilang kesungguhan, lebih kerap dengan kebatilan daripada dengan kebenaran. Sebab, kebatilan dan hidup bersenang-senang adalah dua kendala yang telah menyelimuti akal, naluri dan hati sehingga mereka lalai dari kesungguhan dan kebenaran.
Begitu pula saya menganjurkan kepada para guru agar mempelajari karya-karya tersebut sehingga dapat membina jiwa-jiwa yang telah rusak, hati-hati yang telah gelap, akal-akal yang telah lumpuh dan terhina di mata para pecandu dunia lantaran mereka tidak mengecap betapa besar berkah dan fungsinya, dan pada gilirannya mereka pun tidak lagi mengenal nilai yang sesungguhnya. Dengan begitu, keadaan mereka tak menentu, kehidupan mereka menyimpang dan harapan-harapan mereka kabur, dan akhirnya mereka jatuh ke dalam kondisi yang perlu diciptakan kembali dari awal.
Di akhir pengantar ini, tidak ada yang layak saya sampaikan selain ungkapan terima kasih kepada saudara yang terhormat, Sayyid Murtadha Ar-Radhawi, pemilik perpustakaan An-Najah di kota Najaf, Republik Irak, atas usaha-usahanya yang mulia dalam menebarkan ilmu dan memperkenalkan khazanah-khazanah yang selama ini terpendam, juga atas kesempatan yang diberikan kepada saya sehingga saya dapat mengetahui karya ilmiah yang berharga ini [Peradaban Syi’ah dan Ilmu Keislaman].
Saya percaya bahwa buku ini akan menjadi subjek penelitian yang amat berarti bagi kaum pelajar dan terpelajar seketika edisi penerbitan terbarunya sampai di tangan mereka, Insya-Allah.
20 Ramadhan 1386 / 1 Januari 1967
Tidak ada komentar:
Posting Komentar